Masjid Semanding, Jenangan, Ponorogo, tampak teduh dalam cahaya kuning temaram ketika jamaah Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah duduk bersila, menantikan prosesi baiat sanad Kiai Imam Muhadi yang dipimpin Mursyid Kiai Ali Barqul Abid. Malam itu, suasana berlapis antara keheningan, haru, dan penyerahan diri.
Di hadapan jamaah, Kiai Ali mengawali ceramah dengan pernyataan yang membuat banyak orang menunduk lebih dalam.
“Tidak ada manusia yang merasa aman dalam hidup ini kecuali orang kafir,” ujarnya, mengutip peringatan Nabi agar seorang hamba tidak hidup dalam rasa aman yang menipu.
Rasa aman yang dimaksud bukanlah ketenangan, melainkan keyakinan keliru bahwa diri sudah selamat dan tak mungkin tergelincir.
“Takutlah kepada Allah seperti takutmu pada macan,” katanya, merujuk pada riwayat ulama salaf. “Macan tidak pandang bulu. Begitu pula takdir Allah. Hari ini seseorang bisa hina, besok Allah muliakan. Hari ini alim, sekejap Allah bisa balikkan.”
Menurutnya, inilah alasan manusia tidak layak menaruh sedikit pun kesombongan: merasa paling benar, paling suci, paling pintar, atau merasa ibadahnya sudah memadai. Semua itu, tegasnya, adalah bagian dari cubbud-dunya—cinta dunia yang membuat hati gelap namun sering tak disadari.
Kiai Ali juga mengingatkan pesan Imam al-Ghazali bahwa seburuk apa pun manusia, selama hatinya masih bisa teringat kepada Allah, walau hanya sesaat, maka masih ada cahaya yang bisa dipulihkan.
“Thoriqoh itu latihan untuk selalu sadar,” katanya pelan. “Dzikir bukan soal khusyuk atau tidak. Dalam keadaan tidak khusyuk saja kita sering tak dzikir, apalagi saat lalai.”
Prosesi baiat berlangsung hening. Jamaah menakupkan tangan, mengikuti lantunan dzikir yang pelan tapi mantap. Beberapa menahan tangis. Yang lain menunduk dalam-dalam, seakan merapikan kembali niat dan langkah hidupnya.
Di luar masjid, angin malam bergerak lembut. Pada dini hari itu, para pejalan spiritual pulang membawa satu pesan yang berulang-ulang ditegaskan Kiai Ali: bahwa keselamatan bukan tentang merasa aman, melainkan tentang terus sadar, terus mengingat, dan tak berhenti kembali kepada Allah.


Posting Komentar untuk "Baiat Malam di Semanding dan Peringatan tentang Rasa Aman yang Menipu"