Malam selepas Isya itu, suasana Masjid Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo, terasa teduh. Angin persawahan perlahan dari arah timur, membawa kesejukan yang menyelinap di antara barisan jamaah yang telah memenuhi ruang utama masjid. Lampu-lampu gantung tua memancarkan cahaya kekuningan yang lembut. Di tengah lingkaran dzikir, Kiai Ali Barqul Abid, Al Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, duduk bersila dengan tenang, wajahnya teduh diterangi sinar lampu.
Sebelum baiatan dimulai, beliau menyampaikan tausiyah yang pelan namun dalam. Dengan suara lembut, Kiai Ali membuka dengan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu.”
(QS. Al-Ahzab: 70–71)
Beliau berhenti sejenak, membiarkan ayat itu mengalir ke hati para jamaah.
“Bukan pinter lesannya,” katanya tenang, “tapi pinter mengendalikan lesannya— tahu kapan harus bicara, tahu kapan harus diam.”
Kiai Ali menatap sekeliling, sorot matanya lembut namun dalam. “Dari kejahatan lesan, negara bisa hancur. Banyak kerusuhan, konflik, bahkan perang, bermula dari gagalnya manusia menjaga lesan.” Suaranya mengalun perlahan, namun membawa bobot yang berat.
“Stop ujaran kebencian , jangan keburu percayai kebernato yang setengah,” lanjutnya. “Stop hoaks. Tebarkan virus-virus cinta dan kedamaian.”
Beberapa jamaah menunduk, ada yang memejamkan mata, seolah sedang menimbang kata-kata yang pernah mereka lontarkan di tengah derasnya arus kabar dan opini. Kiai Ali melanjutkan, “Jangan pernah mengambil keuntungan pribadi dari munculnya masalah atau isu. Kendalikan diri. Jangan terpancing, jangan ikut-ikutan dalam perkara yang tidak kita tahu ilmunya.”
Pesan itu terasa sederhana, tapi di tengah kehidupan modern yang bising oleh debat dan berita palsu, kata-kata beliau menjadi seperti penawar. Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diam, menurut Kiai Ali, bukan tanda kelemahan, tapi kedewasaan ruhani. Dalam diam yang disertai kesadaran, seseorang bisa menjaga hatinya dari keinginan untuk menang sendiri, dari nafsu untuk menilai tanpa tahu.
Malam semakin larut, tapi tak satu pun jamaah beranjak. Di luar, suara jangkrik berpadu dengan desir angin dari lereng gunung. Di dalam masjid, suasana terasa damai. Kiai Ali melanjutkan nasihatnya tentang bagaimana manusia bisa bertahan di tengah dunia yang tak pasti.
Nabi Muhammad ﷺ, katanya, telah memberi tiga pegangan agar umat tetap selamat. Pertama, takutlah kepada Allah, baik dalam keadaan sendiri maupun ramai. Rasa takut di sini bukan gentar, tapi kesadaran bahwa Allah selalu melihat. Ketika kesadaran itu hidup, lisan dan perbuatan akan terkendali.
Beliau menambahkan, hidup sederhana dalam keadaan lapang maupun sempit adalah tanda kematangan jiwa. Kesederhanaan, menurutnya, bukan karena tidak mampu, tapi karena mampu menahan diri. “Orang fakir tetap terhormat saat bersyukur, dan orang kaya tetap mulia saat menahan diri,” katanya.
Dan pesan terakhir, berlaku adil dalam segala keadaan — baik saat marah, lega, senang, atau kecewa. “Keputusan yang lahir dari emosi akan mematikan akal,” ucapnya pelan. “Adil itu menimbang dengan ilmu dan nurani.”
Usai doa penutup, para jamaah tetap duduk dalam hening. Dzikir bergema perlahan, seperti desau angin yang menyentuh dedaunan jati di luar masjid. Seorang lelaki tua di serambi mengusap matanya sambil berbisik, “Kalau hati kosong dari Allah, lisan akan liar.”
Kiai Ali menutup dengan satu kalimat yang menenangkan, “Teruslah dzikir, jangan biarkan zaman membuat hatimu kosong dari Allah.”
Malam itu, Tegalsari diliputi ketenangan yang sulit dijelaskan. Dalam cahaya remang dan udara dingin persawahan, pesan Kiai Ali menggema dalam hati banyak orang: bahwa menjaga lesan bukan sekadar menahan kata, tapi menjaga damai di dalam diri.
“Ilahi anta maqsudi, wa ridloka mathlubi,” terdengar lirih dari barisan jamaah — Ya Allah, hanya Engkau tujuan kami, dan ridha-Mu yang kami cari.
Dalam gema dzikir itu, malam terasa panjang namun lembut. Di bawah langit Tegalsari yang berawan tipis, kedamaian tumbuh dari hal paling sederhana: kata yang dijaga, hati yang tunduk, dan lisan yang menebar cinta.
Posting Komentar untuk "Menjaga Lesan, Menjaga Kedamaian"