Masjid Kranggan di Kecamatan Geger, Madiun, sore itu tak ubahnya lautan keheningan. Ratusan jamaah duduk bersila, sebagian menunduk, sebagian menutup mata. Di antara desir angin dan napas yang tertahan, suara Kiai Hasan Ali mengalun bening, menembus ruang dan batin:
“Awake dewe iki wis dimodali dzikir la ilaha illallah nek guru Mursyid sing kenek gawe urusan donyo nganti akhirat, disangoni dzikir sirr sing wong liyo ora ngerti, sampek malaikat wae ora krungu”
Kalimat itu membuat jamaah diam. Tak ada yang berucap, tak ada yang bergerak. Dzikir sirr—dzikir dalam diam, yang hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah—mengandung makna sedalam samudra. Di situ, manusia tak lagi bicara kepada dunia, tapi berbicara kepada Tuhannya dalam bahasa hati yang tak bersuara.
Dalam tausiyahnya, Kiai Hasan Ali melanjutkan dengan lembut. “Guru-gurune dewe wis nyiapne cara amrih gampangé nyedek lan ngeling-ngeling Gusti Allah,” ujarnya.
Ia mengibaratkan perjalanan spiritual sebagai kendaraan yang sudah disiapkan. “Kita iki enak, kabeh wis disediani guru-guru kita. Ibarat kendaraan, kita tinggal numpak lan manut sing nyetir—yakni guru Mursyid,” katanya, menatap jamaah satu per satu.
Pesan itu sederhana, namun sarat makna. Dalam jalan spiritual, bukan kepintaran atau kedigdayaan yang menentukan keselamatan, melainkan ketaatan. “Tekun, manut, lan ngerjani perintah—iku yakin slamet,” lanjutnya.
Dari wajah para jamaah—banyak di antaranya sudah sepuh—tampak ketenangan. Mereka datang dengan pakaian sederhana, membawa kesungguhan yang sulit dijelaskan. Di hadapan para kiai, mereka tidak sekadar mendengar ceramah, tapi menerima pancaran keteladanan: bahwa hidup yang berkah dimulai dari kepatuhan kepada guru, dan kesetiaan kepada dzikir.
Beberapa saat kemudian, mikrofon berpindah ke tangan Kiai Ali Barqul Abid. Suaranya pelan tapi tegas. Ia menegaskan pentingnya istikomah—keteguhan dalam ibadah, kesetiaan dalam amal, dan ketenangan dalam menghadapi hidup.
“Istikomah terhadap perintah guru lan istikomah dalam beragama iku kunci lan modal urip, saiki lan sing bakal teka,” ujar Kiai Ali.
Beliau kemudian mengajak jamaah mengirim doa bagi para korban musibah di Pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo. Namun di balik doa itu, terselip pesan moral yang kuat: jangan mudah menilai sesuatu yang kita tidak tahu ujung pangkalnya.
“Aja gampang nyimpulake, aja melu-melu ngadili. Musibah bisa teka kapan wae, nang sapa wae, lan ning endi wae,” tutur Kiai Ali.
Masjid kembali sunyi. Tak ada yang bersuara, hanya dzikir pelan terdengar mengalun. Dalam diam itu, para jamaah seolah menyadari satu hal: bahwa istikomah bukan sekadar terus beribadah, tetapi juga menahan diri dari tergesa-gesa menilai, dari mudah menyalahkan, dan dari kehilangan empati.
Bagi sebagian orang, ajaran Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terasa seperti jalan sunyi di tengah hiruk-pikuk dunia. Tapi bagi mereka yang menempuhnya, jalan ini justru penuh cahaya. Di situ, dzikir bukan hanya lafaz, melainkan napas kehidupan; bukan sekadar bacaan, melainkan kesadaran.
Kiai Hasan Ali dan Kiai Ali Barqul Abid, dua sosok yang mewarisi sanad panjang para Mursyid, tak hanya mengajarkan kalimat dzikir, tapi juga laku keseharian: tawadhu, sabar, dan tidak tergesa menilai.
Di tengah dunia yang semakin riuh oleh komentar dan penghakiman, ajaran ini terasa menenangkan. Ia tidak mengajak untuk diam tanpa makna, tapi untuk menenangkan hati sebelum berbicara, agar setiap kata keluar dari kejernihan, bukan dari amarah.
Menjelang magrib, jamaah mulai berdiri satu per satu. Sebagian menyalami Kiai Hasan dan Kiai Ali, sebagian masih duduk khusyuk menutup dzikir. Sinar jingga senja menyelinap di antara jendela masjid, menyorot lembut wajah-wajah yang teduh.
Di luar masjid, udara terasa lebih sejuk. Seseorang berbisik pelan kepada temannya, “Kiai tadi bilang, malaikat wae ora ngerti dzikir sing digawe wong sing eling Allah.”
Temannya hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
Barangkali di situlah makna terdalam dari ajaran ini: manusia tidak perlu diketahui siapa pun ketika mengingat Allah. Cukup dirinya dan Tuhannya yang tahu. Dzikir bukan untuk didengar telinga, melainkan untuk mengetuk pintu hati.
Dan di tengah hiruk dunia yang semakin keras suaranya, ada kelompok kecil yang memilih diam—mengulang kalimat la ilaha illallah dalam sunyi, di bawah bimbingan para guru Mursyid, dalam perjalanan panjang menuju cinta Ilahi.
Posting Komentar untuk "Dzikir yang Tak Didengar Malaikat"