Malam itu, langit tampak teduh di atas masjid desa di pinggiran Ponorogo. Hanya tiga atau empat orang yang datang dalam majelis baiatan malam itu. Pengurus masjid sedang bepergian, dan sebagian jamaah tak sempat hadir. Namun Kiai Ali, yang datang jauh-jauh dari Nganjuk, sama sekali tidak menampakkan kecewa. Beliau hanya tersenyum, seolah memahami seluruh dinamika yang mengiringi perjalanan spiritual umatnya.
Saya, yang turut mendampingi beliau, tak bisa menyembunyikan rasa geram dalam hati. “Mengapa bisa begini?” batin saya berbisik. Sementara Kiai Ali tetap tenang, seakan tak ada yang salah dengan semua itu. Ia tidak menegur siapa pun, tidak pula menampakkan raut kecewa. Hanya menunduk, berzikir pelan, dan menatap para jamaah yang hadir dengan penuh kasih.
Beberapa kali kemudian, situasi serupa terulang. Pengurus baiatan lupa hari, jamaah salah paham dan pulang lebih awal. Namun Kiai Ali tetap tersenyum. Tidak ada satu pun kata keluhan keluar dari lisannya. Dari luar tampak biasa, tapi di hati saya, ada yang bergetar—antara malu dan kagum.
Kemarin, baiatan kembali digelar. Sederhana, khidmat, dihadiri para jamaah sepuh—rata-rata berusia di atas tujuh puluh tahun. Setelah acara selesai, Kiai Ali dipersilakan pinarak ke rumah salah satu pengurus yang selama ini membantu kelancaran baiatan. Rumahnya sederhana, dindingnya kusam, namun terasa hangat oleh sambutan tuan rumah.
“Bune, gawekne kopi telu,” kata lelaki tua pemilik rumah itu dengan suara lirih, melangkah pelan ke dapur. Kiai Ali tersenyum, mengambil sepotong biskuit dari meja, memberi isyarat agar saya ikut mencicipinya.
Tak lama, dari dapur terdengar suara perempuan renta memanggil, “Kopine wis rampung.” Ia keluar dengan baki berisi tiga gelas kopi panas. Saya hendak membantunya, tapi ia menolak, “Biar saya sendiri, Nak.”
“Sehat, Kiai?” tanya Kiai Ali lembut.
“Sehat, Kiai. Tapi sehatnya wong tuwo, ya begini,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Sekarang tinggal berdua, jalan ke masjid saja sudah sempoyongan. Sawah sudah dikerjakan orang lain. Kerjaannya ya cuma makan sama tidur.”
Namun dari balik gurauan itu, terpancar ketawadhuan yang dalam. Tak lama kemudian, sang istri memanggil lagi dari dapur, “Dahare wis siap.” Ia menata nasi, sayur, abon, dan kerupuk di meja makan. Semua dilakukan sendiri, dengan tenaga yang tersisa.
Kiai Ali makan dengan lahap. Setiap suapan seolah menjadi bentuk penghargaan atas ketulusan tuan rumah. Saya melihat bagaimana wajah lelaki tua itu berbinar. Ada kebahagiaan yang sederhana: melihat tamunya makan dengan senang hati.
Selesai makan, Kiai Ali memanjatkan doa agar kesehatan dan keberkahan selalu menyertai pasangan sepuh itu. Lalu beliau berpamitan, berjalan pelan menuju mobil. Sang tuan rumah mengantar hingga ke depan, meski langkahnya gontai, sambil menjawab salam Kiai Ali Barqul Abid, suaranya bergetar namun penuh hormat.
Mobil baru beberapa meter berjalan ketika Kiai Ali bercerita pelan,
“Orang tua tadi itu dulu oleh abahku, Kiai Imam Muhadi, diangkat jadi Mursyid. Tapi karena tawadhu’-nya, selama aku masih hidup, dia tak mau menjalankan peran itu.”
Kata-kata itu menampar batin saya. Seolah ada sesuatu yang luruh di dada. Selama ini saya kerap mengeluh dalam hati—tentang kesiapan panitia, jumlah jamaah, bahkan situasi yang dianggap tak ideal. Sementara mereka yang benar-benar mulia justru menunduk, menerima keadaan tanpa sedikit pun protes.
Saya teringat ucapan Kiai Ali yang sering diulang-ulang dalam pengajian:
“Ojo gampang keblithuk, gampang kapusan kahanan.”
Jangan mudah terperdaya oleh keadaan.
Dan kini saya memahami maknanya.
Ketenangan Kiai Ali bukan karena ia tak peduli, tapi karena hatinya sudah selesai dengan diri sendiri. Ia hadir bukan untuk menuntut, tapi untuk menuntun.
Dalam perjalanan pulang, senyum Kiai Ali tetap teduh seperti langit malam itu—diam, tapi mengajarkan banyak hal tentang ketulusan, kesabaran, dan makna sejati dari melayani umat.
Posting Komentar untuk "Di Bawah Teduh Senyum Sang Kiai"