Dari Lereng Bukit ke Selotinatah, Jamaah TQN Merajut Kebersamaan Lewat Baitan Bergilir

Magetan – Siang itu, halaman Masjid Al-Mujahidin, Desa Selotinatah, Kecamatan Ngariboyo, tak seperti biasanya. Sandal berjejer rapi di serambi, jamaah duduk bersila, sebagian wajah terlihat sumringah, sebagian lagi menahan haru. Untuk pertama kalinya, baitan Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) digelar di masjid ini.

Sebelumnya, jamaah TQN di Magetan biasa mengikuti baiatan di Masjid Aswaja Takeran. Jaraknya lebih dari 25 kilometer, dengan medan naik-turun bukit yang tidak mudah dilalui. “Kadang harus berangkat sejak pagi agar tidak terlambat,” kata Suyatno (63), jamaah yang sejak muda tak pernah absen.

Karena itu, dalam sebuah musyawarah, muncul gagasan untuk mengadakan baitan secara bergiliran di masjid-masjid. “Selain memudahkan jamaah, juga mempererat tali silaturahmi,” tambahnya.

Variasi yang Menguatkan

Kiai Ali Barqul Abid, yang memimpin jamaah, menyambut baik usulan itu. “Ibadah itu jangan monoton, biar tidak jenuh. Tapi meski suasana berganti, subtansi tidak boleh berubah. Tauhid tetap nomor satu,” ujarnya.

Menurutnya, variasi seperti ini menjadi semacam “penyegar suasana” agar semangat jamaah tidak luntur. “Sesungguhnya dalam dzikir ada ketenangan hati,” (QS. Ar-Ra’d: 28). Bagi Kiai Ali, ayat itu menegaskan bahwa tujuan akhirnya tetap satu: lillahi ta’ala, menuju Allah.

Jejak Guru dan Alumni

Dua pekan sebelum acara di Selotinatah, Kiai Ali baru saja kembali dari Sumatera. Selama dua minggu ia mengunjungi jamaah di Palembang dan Jambi, mengisi pengajian, baiatan, sekaligus menyambangi pondok-pondok alumni Pondok Pesantren Mamba’ul Adhim Bagbogo, Nganjuk.

“Santri-santri sejak zaman Romo kami dulu pulang ke kampungnya masing-masing, lalu mendirikan pondok. Sanadnya tetap tersambung ke Bagbogo,” jelasnya.

Nama Kiai Imam Muhadi, mursyid thoriqoh, harum di banyak tempat. Jejak perjuangannya menumbuhkan pondok-pondok baru yang “beranak pinak dan semakin mengakar.” Harapan Kiai Ali, semoga yang dilakukan jamaah Magetan di Selotinatah ini juga menjadi bagian dari jejak itu.

Pesan di Balik Candaan

Dalam tausiyah, Kiai Hasan Ali menyelipkan guyon khas: “Bejo bejone menungso yen ana Mursyid ngakoni muride. Iki jaminan. Nanging ojo sak karepe dewe. Melu kudu melu kerjo, ngerjakne apa sing diajarke Mursyid.”

Candaan itu disambut senyum jamaah, namun maknanya dalam: keberuntungan seorang murid tidak berhenti pada status “ikut,” tetapi terletak pada kepatuhan menjalankan tuntunan guru.

Ruang Spiritual yang Bertumbuh

Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah adalah perpaduan dua jalur sufisme. Qadiriyah menekankan dzikir lisan, sementara Naqsyabandiyah mengutamakan dzikir batin. Keduanya berpadu dalam disiplin dan kesetiaan kepada mursyid.

Bagi jamaah, perpindahan lokasi baitan bukan sekadar urusan teknis. Ia adalah simbol ruang spiritual yang bertumbuh. Masjid bukan sekadar bangunan fisik, tetapi tempat hati bertemu dalam dzikir dan doa.

Harapan Baru di Selotinatah

Sehabis Asyar, baiatan perdana di Selotinatah usai. Jamaah berhamburan saling bersalaman. Ningsih (45), jamaah perempuan yang biasanya menempuh perjalanan jauh ke Takeran, tampak terharu. “Rasanya seperti mimpi. Akhirnya di kampung sendiri ada baitan,” ujarnya.

Bagi mereka, langkah kecil ini adalah awal baru. Dari Selotinatah, jejak tarekat yang diwariskan para guru berlanjut, menembus bukit, menyapa hati-hati yang rindu akan ketenangan.

“Perpindahan tempat mungkin tampak sederhana. Namun di lereng Magetan, ia adalah tanda bahwa spiritualitas bisa tumbuh bersama kebersamaan—menembus jarak, melewati bukit, dan bersemayam di hati jamaah.”



Posting Komentar untuk "Dari Lereng Bukit ke Selotinatah, Jamaah TQN Merajut Kebersamaan Lewat Baitan Bergilir"