Malam makin larut, langit Semanding di Jenangan, Ponorogo, berwarna sendu, ketika anak-anak muda berbondong-bondong menuju masjid. Mereka datang dengan wajah penuh harapan, ada pula yang masih menyimpan kegelisahan. Di dalam ruang yang sederhana itu, baitan Thariqah Qodriyah wa Naqsyabandiyah berlangsung khidmat. Kiai Ali Barqul Abid berdiri di depan jamaah, suaranya tenang namun menyentuh, membawa pesan yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Manusia, kata Kiai, adalah makhluk sosial yang tak pernah lepas dari hubungan dengan sesama. Dalam pekerjaan, pergaulan, maupun aktivitas sehari-hari, gesekan hampir tak terhindarkan. Perselisihan, kekecewaan, hingga tekanan hidup sering membuat suasana hati tidak stabil. Mood yang naik turun itu kerap ikut menyeret iman, membuatnya menipis. Bahkan alam pun berperan: cuaca panas, hujan, atau dingin dapat memengaruhi kesehatan fisik, yang lalu merembes hingga ke kondisi batin. Iman, jelas Kiai, memang turun naik—kadang tebal kadang tipis, kadang kuat kadang lemah.
Kanjeng Nabi Muhammad, sambungnya, sudah memberikan konsep agar iman tetap stabil. Shalat dengan khusyuk, dzikir yang terus hidup, adalah cara menjaga agar iman tidak makin menipis hingga lenyap. “Meskipun iman tidak selalu bisa naik, jangan biarkan ia terus merosot,” ucap Kiai Ali. Ia lalu menyebut hadis Rasulullah tentang salasun—tiga hal yang menyelamatkan.
Pertama, rasa takut kepada Allah, baik dalam keadaan sepi maupun ramai, sendiri ataupun bersama banyak orang. Takwa hadir dalam kondisi apa pun, menjadi kendali agar langkah manusia tetap lurus.
Kedua, kesederhanaan dalam hidup. Membiasakan diri sederhana, baik ketika kaya maupun miskin, tidak berlebih-lebihan saat lapang dan tidak merendahkan diri secara hina ketika sulit. Kesederhanaan itu adalah pengendalian diri sesuai kapasitas, menjaga hati agar tidak gila dunia.
Ketiga, berlaku adil. Adil dengan takaran ilmu, akal, dan syariat, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, tenang ataupun marah. Jangan sampai keputusan diambil karena dorongan emosi, nafsu, atau kegembiraan berlebihan. Keputusan keberpihakan karena kerabat, kecocokan, keuntungan, kemanfaatan sesaat. Sedangkan keputusan karena kebencian, sebaik apapun kebaikan seseorang tak akan bernilai tatkala kebencian manjadi dasar keputusan.
“Qodok itu mematikan akal. Bukan karena emosi, senang, apalagi nafsu,” tegasnya.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda:
📌 Kutipan Hadis
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ، وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى، وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
Artinya:
“Tiga perkara yang menyelamatkan: takut kepada Allah, baik dalam keadaan sepi maupun terang-terangan; bersikap sederhana dalam kaya maupun miskin; serta berlaku adil dalam keadaan marah maupun ridha.”
(HR. al-Baihaqi)
Pesan itu, kata Kiai, adalah fondasi agar iman tidak kosong. Karena itu, manusia dituntut untuk terus berdzikir, terus ingat kepada Allah, jangan pernah biarkan hati hampa.
Kiai Ali juga menyinggung tentang mawakofa, yakni sikap menyerahkan diri dan bergantung penuh kepada Allah. Harapan-harapan manusia, jelasnya, hanya mudah terwujud bila dilibatkan dengan Allah. Sebaliknya, harapan akan sulit terwujud bila seseorang merasa mampu sendiri tanpa tawakal. “Jangan pernah merasa bisa tanpa Allah,” ujarnya, disambut anggukan para jamaah muda.
Malam itu, suasana baitan berbeda. Mayoritas jamaah adalah anak-anak muda, wajah-wajah segar yang sedang mencari arah hidup di tengah zaman yang serba cepat. Mereka mendengarkan dengan serius, sebagian mencatat, sebagian lagi terdiam menahan rasa. Ada yang berkaca-kaca ketika mendengar pesan tentang takwa dalam kesepian, ada pula yang menuliskan kalimat pendek di gawainya: “Biar saja dunia goyah, asal hati tak roboh.”
Di akhir majelis, dzikir menggema bersama. Suasana hening bercampur haru, seolah tiap santri meletakkan beban hati mereka di hadapan Allah. Dalam bimbingan sang guru, mereka merasa menemukan pegangan di tengah dunia yang penuh guncangan. Pesan Kiai Ali Barqul Abid malam itu bukan hanya untuk kaum suluk, melainkan untuk semua manusia modern yang sering terseok dalam gejolak hati. Dan semoga, sebagaimana doa beliau, Allah benar-benar menggolongkan mereka ke dalam hamba-hamba yang beruntung.
Posting Komentar untuk "Menjaga Iman di Tengah Guncangan Hati"