Janji di Ujung Gontai, Doa di Ujung Lidah

Banjarsari Kulon, Dagangan, Madiun —
Usianya tak lagi muda. Langkahnya gontai, tubuhnya tak lagi tegak, kulitnya pucat meski senyum itu tak pernah pudar. Di pojok parkiran motor sebuah Taman Kanak-kanak, lelaki itu duduk. Matanya teduh, meski garis letih tak bisa disembunyikan.

“Sirah kula wau dalu niku mumet, sakit raose kados pecah, munyer ganjret…” ujarnya lirih ketika kami bersalaman. Kepala pusing, rasa mual, tubuh seperti enggan diajak kompromi. Tapi bukan itu yang membuatnya khawatir. Bukan sakit yang ia takutkan, melainkan janji yang ia genggam.

Meski belum tahu namanya, kami sudah akrab. Sama-sama jamaah, sama-sama saling bertemu di banyak kesempatan baiatan Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah, terutama di daerah Madiun.

“Kula mboten kiyat rasane, padahal mbenjinge kedah baiatan wonten Banjarsari mriki,” tambahnya.

Ia mengaku sempat hanya bisa pasrah. “Kalih tilem, kula ndedonga. Ya Allah, kula ridho kalih sakit ingkang kula tandang niki, lan ridho menawi nyawa kula panjenengan pendet.”

Tapi takdir berkata lain. Yang diambil bukan nyawanya, melainkan sakitnya. “Alhamdulillah… sing ilang pusinge sanes nyawane, sing tetep janji kula,” katanya, tersenyum.

Hari itu, ia hadir. Duduk di barisan jamaah yang menanti wejangan Kiai Ali Barqul Abid. Mata berkaca-kaca, bukan karena sakit, melainkan karena syukur — janji kepada guru bisa ia tunaikan.

Di hadapan jamaah, Kiai Ali mengingatkan satu pesan penting. Tentang janji. Tentang doa. Tentang satu kata yang sering kita ucapkan, tapi kerap kehilangan makna: insyaallah.

“Janji itu harus diikat doa,” tutur Kiai Ali. “Kata insyaallah bukan basa-basi. Itu janji, itu harapan, doa agar Allah memberikan kesempatan menepati niat baik kita.”

Kiai Ali mengutip kisah Rasulullah SAW yang diingatkan Allah ketika lupa mengucapkan insyaallah. Bahwa dalam setiap rencana, dalam setiap janji, ada ruang untuk menyerahkan segalanya kepada kehendak Sang Maha.

Namun, Kiai Ali juga mengingatkan, jangan sampai insyaallah hanya jadi pemanis bibir. “Jangan mudah mengiyakan sesuatu yang kita tahu belum tentu mampu kita tepati. Jangan malu mengatakan belum bisa. Insyaallah itu bukan formalitas. Itu doa, itu janji,” tegasnya.

Di ujung acara, lelaki tua itu kembali tersenyum. Senyum yang sama seperti pertama kali kami bersua. Bedanya, kali ini ada sorot mata yang lebih dalam, seperti menemukan arti baru dari kata sederhana yang begitu sering kita dengar.

“Insyaallah, mugi tansah diparingi kekiyatan,” katanya sambil merapatkan sarungnya, lalu melangkah pulang. Langkah gontai yang membawa janji, doa, dan rasa syukur di setiap hentaknya.


---

Posting Komentar untuk "Janji di Ujung Gontai, Doa di Ujung Lidah"