Jam dinding di serambi Masjid Kepoh, Dusun Kepoh Buntung, Desa Jimbe, Kecamatan Jenangan, Ponorogo, hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah karena sawah habis dibajak untuk segera ditanami padi. Lampu-lampu neon remang memantulkan bayangan jamaah yang masih bertahan, duduk bersila di serambi, menikmati sisa kehangatan selepas baiatan Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang baru saja selesai dipimpin oleh Kiai Ali Barqul Abid.
Di sudut serambi, Kiai Ali duduk tenang, sambil menyulut rokoknya. Beberapa santri dan jamaah masih setia menemani, obrolan ringan mengalir di antara kepulan asap kopi hitam. Seorang jamaah, yang datang terlambat, mulai bercerita. Perjalanannya pulang dari luar kota, jalan-jalan utama macet, demonstrasi di mana-mana, ratusan massa berteriak sambil membakar fasilitas umum.
“Bener kata Bung Karno,” ujarnya sambil menggelengkan kepala, “dijajah bangsa sendiri itu lebih berat dan menyakitkan daripada dijajah Belanda atau Jepang.”
Kiai Ali tersenyum tipis, sambil meletakkan rokoknya di asbak. Dengan suara lembut yang justru menembus hati, beliau berkata,
“Ingkang paling awrat niku… , dijajah nafsune piyambak”
Gelak tawa pun pecah. Namun tawa itu perlahan mereda, berganti dengan keheningan yang penuh renungan.
Perang yang Tak Pernah Usai
Beberapa jam sebelumnya, saat acara baiatan, Kiai Ali sudah mengingatkan bahwa musuh paling besar bukanlah kekuatan asing, bukan pula sesama manusia, melainkan diri sendiri.
“Bukan mematikan, tapi mengendalikan nafsu,” katanya, suaranya tegas namun penuh kasih. “Nafsu ingin lebih dari orang lain, iri, dengki, hasad, ujub, riyak… keliatannya sepele, tapi berat sekali.”
Beliau menuturkan kisah iblis yang dulu menjadi ahli ibadah dan akrab dengan para malaikat, namun jatuh hanya karena kesombongan. “Kalau iblis yang sudah makrifat saja bisa tergelincir, apalagi kita,” lanjutnya.
Beliau juga mengisahkan Musa bin Thoib di masa Nabi Musa, seorang ahli ibadah yang belajar langsung dari Malaikat Jibril, namun akhirnya menjadi Dajjal karena merasa dirinya paling mulia.
Menata Hati, Mencari Ridha Ilahi
Bagi Kiai Ali, perjalanan thariqah bukan jalan instan menuju kesucian. Ia adalah proses panjang menata hati, mengendalikan ego, dan mengikis kesombongan.
“Hidup ini hanya untuk satu tujuan,” ucapnya lirih, “mencari ridha Gusti Allah. Seperti doa para shalihin, anta maqsudi, wa ridhoka mathlubi, wa ma’rifataka ghoyati — Engkaulah tujuan kami, ridha-Mu yang kami cari, dan ma’rifat-Mu yang kami harapkan.”
Angin malam semakin dingin, tapi suasana di serambi masjid justru terasa hangat. Doa-doa mengalir lirih, memohon agar bangsa ini diberi keteguhan dan keselamatan.
“Negeri ini butuh doa, bukan hanya kritik,” ujar Kiai Ali sambil menatap langit malam Ponorogo yang berpendar oleh bintang-bintang.
Pesan dari Serambi Kepoh
Obrolan santai malam itu berakhir tanpa hiruk-pikuk, hanya keheningan yang membekas di hati. Para jamaah pulang satu per satu, membawa pesan yang sama: musuh paling berbahaya bukanlah yang ada di luar, melainkan yang bersemayam di dalam hati.
Di jalanan desa yang mulai sepi, suara lembut Kiai Ali seakan masih terngiang-ngiang:
“Yang paling berat itu, … dijajah nafsunya sendiri.”
Di tengah riuhnya bangsa yang dilanda demonstrasi dan perpecahan, pesan itu menjadi pengingat abadi: kemerdekaan sejati hanya bisa diraih ketika manusia mampu menundukkan dirinya sendiri.
---- Kepoh Buntung)
Posting Komentar untuk "Dijajah Nafsu Sendiri"