Malam itu, udara Ponorogo terasa dingin oleh hembusan dinginnya angin di akhir bulan Agustus. Di Masjid Kiai Abdul Djamal, Kepoh Buntung, Jimbe, Jenangan, suasana hening membalut jamaah yang memadati serambi dan ruang utama masjid. Lantunan zikir terdengar lirih, seolah menuntun hati para santri, jamaah, dan masyarakat yang hadir untuk menundukkan ego di hadapan Sang Khalik.
“Syukur, dengan Alhamdulillah, dan bisa mengucapkan Alhamdulillah juga merupakan anugerah,” tutur Kiai Ali Barqul Abid, sang mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang malam itu memimpin baiatan, Ahad bakda Isya. “Setiap ucapan syukur menuntun kita untuk kembali mengingat Allah, karena segala sesuatu hanya karena-Nya.”
Kiai Ali, dengan suara teduh namun berwibawa, menekankan bahwa perjalanan thoriqoh bukan sekadar ritual. “Berthoriqoh itu masalah hati,” ucapnya, menatap para jamaah yang terdiam khidmat. “Hati yang mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Hati yang mampu mengekang nafsu dan menahan keangkuhan.”
Mengikis Keakuan
Di hadapan jamaah, Kiai Ali menuturkan kisah iblis yang dahulu menjadi penghuni surga. “Iblis itu bermakrifat kepada Allah, tahu keagungan-Nya, tapi dia tergelincir karena merasa lebih baik dari Adam. Keakuan itu yang menjatuhkan.”
Baiatan malam itu bukan sekadar prosesi pembaiatan. Lebih dari itu, ia menjadi pengingat bagi setiap santri bahwa inti dari perjalanan spiritual adalah mengelola hati dan menundukkan nafsu. “Semakin tawaduk seseorang, semakin dalam thoriqoh meresap ke dalam kalbunya,” lanjut Kiai Ali.
Ia menekankan, segala kelebihan, kesuksesan, atau kemudahan yang mungkin diperoleh oleh orang-orang thoriqoh hanyalah bonus. “Itu bukan tujuan, bukan indikator keberhasilan. Susah senang, kurang lebih, miskin kaya… semuanya harus tetap kembali ke Allah. Semua bonus itu bentuk kasih sayang-Nya, bukan karena hebatnya doa atau ibadah kita,” tegasnya.
Doa yang kerap dilantunkan para salik menjadi penegasan sikap ini: “Ilahi anta maqsudi waridhoka matlubi, ya Allah, Engkaulah tujuan kami, dan ridha-Mu yang kami cari.”
Istiqamah, Bukan Kuantitas
Di sela-sela tausiahnya, Kiai Ali juga mengingatkan bahwa yang terpenting bukanlah banyaknya ibadah, tetapi ketekunan untuk terus istiqamah. “Istiqamah itu yang membuat hati lebih peka merasakan kehadiran Gusti Allah. Kalau kita merasa Dia dekat, maka tak ada lagi sirik, iri, atau dengki. Semuanya karena Allah,” ujarnya.
Kata-kata itu tak sekadar nasihat. Bagi banyak jamaah yang hadir, terutama mereka yang sudah lama menempuh jalan thoriqoh, pesan tersebut menjadi pengingat untuk terus menata hati di tengah hiruk pikuk dunia.
Doa untuk Negeri
Di akhir tausiah, suasana masjid semakin hening. Jamaah menundukkan kepala, sebagian terisak lirih ketika Kiai Ali mengajak mereka memanjatkan doa untuk bangsa.
“Ya Allah, lindungi negeri ini dari fitnah, dari perpecahan, dari kericuhan. Jadikan Indonesia negeri yang thayyibatun wa rabbun ghafur,” ucap Kiai Ali, lirih namun tegas, seraya mengangkat kedua tangannya.
Doa itu seakan menggema, menembus malam Ponorogo yang tenang. Di luar masjid, jalan kampung yang sepi menjadi saksi kebersamaan ratusan hati yang sama-sama merendah di hadapan Sang Pemilik Segala.
Merasakan Hadirnya Allah
Bagi Kiai Ali, inti thoriqoh adalah kesadaran penuh akan kehadiran Allah. “Jika hati sudah merasakan kedekatan itu, maka tak ada lagi ruang untuk kesombongan. Semua rasa cukup, semua rasa syukur, datang karena kita tahu, segala sesuatu adalah milik-Nya.”
Baiatan malam itu pun berakhir dengan zikir bersama, diiringi isak haru beberapa jamaah. Di serambi masjid, para santri menyalami satu per satu jamaah yang hendak pulang, sambil berucap lirih, “Alhamdulillah… Alhamdulillah…”
Di langit Ponorogo, bulan sabit tampak malu-malu di balik awan, seolah menjadi saksi keheningan malam yang sarat syukur.
--- Kepoh Buntung)
Posting Komentar untuk "Merasakan Hadirnya Allah di Jalan Thoriqoh"