"Yang menjalankan adalah Allah. Yang mempertemukan juga Allah. Yang menggerakkan hati untuk menjalin hubungan pun Allah. Kita hanya sekadar menjalani peran yang telah digariskan."
Pesan pembuka tausiyah Kiai Ali Barqul Abid dalam bai‘atan Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Masjid Gading Sraten, Jenangan, Ponorogo, malam itu kepada jamaah baru. Suasana hening selepas Isya, jamaah larut dalam untaian dzikir yang memanjang ke langit.
Kiai Ali mengutip pesan hikmah dari Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam: bahwa amal atau perjalanan rohani akan mendapat pertolongan bila diawali dengan niat yang baik. “Kalau awalnya lillah—karena Allah—maka meskipun ada godaan di tengah jalan, hati tetap akan dibimbing menuju tujuan itu,” ujarnya lembut. “Tapi kalau niatnya bukan Allah, maka pada akhirnya akan terputus, karena kita hanya akan berhenti pada apa yang diniatkan.”
Ia mengingatkan, bahkan ketika seseorang telah mencapai maqam ma‘rifat—tingkatan pengenalan kepada Allah—belum ada jaminan dirinya benar-benar selamat dari jebakan niat yang menyimpang. “Bisa jadi tujuan bukan lagi Allah, tapi bonus berupa kemampuan, karomah, atau pengakuan. Padahal itu semua hanyalah fatamorgana,” tegasnya.
Kiai Ali mengutip Ihya’ Ulumuddin jilid keempat karya Imam al-Ghazali, tentang sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Siapa yang datang kepada Allah dengan kalimat La ilaha illallah tanpa mencampurinya dengan sesuatu, maka ia akan selamat.’
Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Apa maksud tidak mencampuri kalimat itu, ya Rasul?” Nabi menjawab, “Yaitu orang yang tidak menjadikan dunia sebagai kecintaannya.”
Bagi Kiai Ali, inilah inti perjalanan spiritual seorang salik (pejalan menuju Allah). “Ketika dzikir, ketika shalat, kalau hati masih sibuk dengan dunia yang dicintai—entah harta, jabatan, bahkan penghormatan—maka kalimat tauhid itu sudah tercampuri,” jelasnya.
Karena itu, tujuan thariqah dan dzikir bukanlah menambah kehebatan spiritual, melainkan membersihkan “penyakit ubudiyah duniawiyah”: riya, ujub, dan cinta dunia yang berlebihan. “Dzikir adalah cermin untuk melihat seberapa jernih hati kita. Kalau masih tampak bayangan dunia di sana, berarti belum jernih benar,” lanjutnya.
Ia lalu menutup dengan pesan tentang zuhud—puncak dari perjalanan seorang salik. “Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tapi meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Dunia tetap digunakan, tapi untuk mengabdi pada akhirat,” tuturnya.
Malam semakin larut, namun wajah para jamaah tak menunjukkan lelah. Mereka seperti tersiram kesejukan oleh kalimat demi kalimat yang mengalir dari sang mursyid. Bai‘atan bukan sekadar ritual seremonial, tapi peneguhan niat—bahwa segala yang menggerakkan, yang mempertemukan, dan yang menuntun langkah, tiada lain hanyalah Allah semata.
Gading Sraten
Posting Komentar untuk "Zuhud, Menjalani Kehendak-Nya"