Petunjuk yang Hidup: Jejak Kemursyidan Kiai Imam Muhadi dan Kiai Ali Barqul Abid

Romo Kiai Imam Muhadi (Sepuh)

Suatu pagi di tahun 1990-an, di tengah hiruk pikuk pasar Jetis yang dipenuhi suara para penjual jamu, saya berboncengan motor dengan Pak Yadi—Suyadi Ali, seseorang yang membawa kami bertemu Kiai Imam Muhadi. Di tengah jalan, ia menepuk pundak saya, lalu menunjuk pada kerumunan penjual obat. “Bedane kyai sing mursyid karo sing dudu mursyid iku koyo ngono kui,” katanya lirih namun tegas. Saya menoleh, tak segera paham.

Lalu ia menjelaskan. Seorang bukan mursyid, katanya, bisa bicara manis tentang keselamatan, menawarkan kabar gembira, dan memperingatkan bahaya, persis seperti bakul jamu yang memuji khasiat ramuan sambil menakut-nakuti penyakit. Tapi tak ada kewajiban siapa pun untuk percaya atau mengikuti. Mau mendengar silakan, mau pergi juga tak masalah. Tidak ada ikatan.

“Tapi nek mursyid, Kiai Imam Muhadi kaya gurune dewe,,” lanjut Pak Yadi, “iku sak obah polah—setiap langkah, ucap, dan diamnya, itu petunjuk. Uga tanggung jawab. Awit donya nganti akhirat.”


Mursyid, Bukan Sekadar Guru

Kiai Imam Muhadi bukan hanya pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul Adhim di Bagbogo, Tanjunganom, Nganjuk. Beliau adalah mursyid thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah an-Nahdliyah, yang membimbing ribuan murid dalam jalan spiritual yang tidak populer, tapi dalam: menyucikan hati dan mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya.

Dalam literatur tasawuf, mursyid adalah orang yang telah “sampai”—wushul—dan kemudian diberi amanah membimbing orang lain untuk sampai pula. Imam Al-Ghazali menegaskan dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa tidak mungkin seseorang mencapai ma'rifat tanpa tuntunan seorang mursyid yang kamil, sempurna.

Dan Kiai Imam Muhadi adalah sosok mursyid yang hidupnya menjadi living guidance. Ia bukan guru yang hanya memberi ilmu. Tapi ia menjadi cermin, teladan, dan bahkan penjamin ruhani bagi murid-muridnya. Seperti Nabi Khidhir yang menjadi petunjuk bagi Nabi Musa (QS Al-Kahfi: 65-82), mursyid terkadang berbicara di luar logika formal, tapi setiap petunjuknya mengandung hikmah batiniah.


Romo Kiai Imam Muhadi (Muda)

Urip Matiku Melu Guruku

Kiai Thoyib, seorang kiai sepuh yang secara usia lebih tua dari Kiai Imam Muhadi, justru menjadi salah satu murid yang setia. Kepada para santrinya ia selalu berkata, “Urip matiku melu guruku, Kiai Imam Muhadi.” Bahkan saat ada orang yang mampu menampakkan karomah seperti terbang (iber), ia mengingatkan, “Ojo nggumun, ojo goyah.” Sebab mursyid sejati bukan tentang kehebatan lahiriah, tapi tentang ikatan batin yang terjaga.

Dan ikatan itu tak pernah putus, bahkan setelah wafat.


Kiai Ali: Kelanjutan Cahaya

Kini, setelah Kiai Imam Muhadi wafat, jalan mursyid itu diteruskan oleh putranya, Kiai Ali Barqul Abid. Bukan hanya karena nasab, tetapi karena waratsah ruhaniyah—pewarisan ruhani yang tampak dari pancaran sikap, keteguhan suluk, dan keberlanjutan sanad thariqah.

Dalam haul Kiai Imam Muhadi yang digelar di pesantren Manba’ul Adhim, seorang kiai kharismatik dari Denanyar Jombang, Kiai Najib Muhammad Al-Imam, menyampaikan:

“Guru mursyid itu koyo gudang. Apa-apa ono. Butuh apa saja, ada. Bejo bejone wong sing ketemu guru mursyid.”

Kiai Ali Barqul Abid kini menjadi gudang itu. Menjadi pelita bagi santri-santri yang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tetapi mencari jalan pulang menuju Allah. Dalam tiap pengajiannya, dalam tiap suluk, dalam tiap talqin dzikir, ada sambungan ruhani dari mursyid ke murid, dari Nabi ke umat, dari cahaya ke cahaya.


Tak Semua Bisa Bertemu

Dalam dunia yang semakin gaduh dan cepat, tak semua orang beruntung dipertemukan dengan seorang mursyid. Sebab mursyid bukan dicari di papan nama atau popularitas, tapi ditemukan dengan niat yang jernih dan hati yang pasrah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

"Apabila seorang murid itu sungguh-sungguh mencari, maka gurunya pun akan mendatanginya."

Begitulah Kiai Imam Muhadi dan Kiai Ali Barqul Abid menjalani tugas suci sebagai mursyid: bukan mengumpulkan pengikut, tetapi menuntun ruh menuju Tuhan.

Dan tugas murid? Satu saja: percaya sepenuh hati, mengikuti sepenuh hidup.


"Innahum awliyaullah, la khawfun ‘alaihim wala hum yahzanun."
(QS Yunus: 62)
“Sesungguhnya para wali Allah itu, tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati.”


----- Pasar Jetis Ponorogo)

Posting Komentar untuk "Petunjuk yang Hidup: Jejak Kemursyidan Kiai Imam Muhadi dan Kiai Ali Barqul Abid"