Dalam satu kesempatan baiat Torikoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an-Nahdliyah di Masjid Al-Misbah, Banyuarum Kauman Ponorogo, Kiai Ali Barqul Abid menyampaikan satu kisah yang menggugah hati—kisah seorang Arab Badui yang bertanya kepada Rasulullah tentang hari kiamat. Bagi para sahabat, pertanyaan itu terdengar kurang sopan, namun justru Rasulullah menyambutnya dengan penuh perhatian.
"Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi kiamat?" tanya Rasulullah. Badui itu menjawab, "Aku tidak banyak beramal, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya." Maka Rasulullah pun bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”
Kisah sederhana ini menjadi pelajaran dalam dan mendasar: mahabah—cinta—adalah jalan keselamatan. Meski amal belum sempurna, cinta yang tulus kepada Allah, Rasul, para wali, dan guru mursyid adalah harapan besar bagi seorang hamba untuk dikumpulkan bersama mereka kelak di surga.
Mahabah: Cinta yang Menyatukan
Dalam kerangka tasawuf, mahabah bukan sekadar emosi atau perasaan. Ia adalah daya tarik spiritual yang mendorong seorang hamba untuk menempuh jalan ketaatan dan pengabdian. Kecintaan kepada Allah dan Rasul bukan hal pasif; ia menumbuhkan semangat amal, keikhlasan, dan kerendahan hati. Dalam Torikoh, mahabah kepada mursyid dan para wali bukan bentuk pengultusan buta, melainkan refleksi dari cinta kepada Allah yang ditanamkan melalui teladan mereka.
Dalam kehidupan modern yang cenderung menjauh dari nilai-nilai ruhani, menumbuhkan mahabah menjadi semakin penting. Dunia yang serba instan dan bising ini kerap membuat hati tumpul dan pandangan spiritual menjadi kabur. Melalui mahabah, seorang hamba menyucikan niatnya, memusatkan orientasi hidupnya kepada Sang Khalik, dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan utama dalam bertindak.
Hijab: Tabir yang Menghalangi
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Ali Barqul Abid, cinta tak akan menemukan puncaknya jika hati masih diselimuti hijab—tabir batin yang menghalangi cahaya Allah. Hijab bisa berupa rasa ujub, takabbur, cinta dunia, atau bahkan fanatisme atas diri sendiri hingga merasa cukup dan tak memerlukan bimbingan. Hijab semacam ini amat berbahaya, karena membuat seseorang merasa dekat dengan Allah padahal sebenarnya terhalang. Dalam istilah sufistik, inilah bentuk "memperTuhankan diri sendiri" yang samar tapi mematikan secara ruhani.
Torikoh: Jalan Mengikis Hijab
Di sinilah peran penting Torikoh. Melalui amalan-amalan dzikir, wirid, dan muhasabah yang terarah, seorang murid dibimbing untuk membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela, menyibak hijab-hijab batin, dan menghidupkan kembali jiwanya yang fitrah. Torikoh bukan sekadar aktivitas spiritual individual, tapi metode pendidikan ruhani yang menumbuhkan mahabah, membersihkan hati, dan mempertemukan seorang hamba dengan Allah dalam kesadaran yang sejati.
Kiai Ali menegaskan, "Hilangkan hijab sebelum mati. Bermakrifatlah sebelum terlambat." Ungkapan ini bukan retorika belaka, tetapi seruan nyata bagi umat Islam agar menjadikan Torikoh dan dzikir sebagai jalan kesadaran. Jangan sampai mati dalam keadaan terhijab, karena saat itu sudah terlambat untuk mencintai dan dicintai secara hakiki.
Penutup: Menemukan Jalan Pulang
Baiatan di Masjid Al-Misbah bukan sekadar ritual seremonial. Ia adalah awal dari perjalanan ruhani untuk kembali kepada Allah dengan cinta yang bersih, hati yang jernih, dan jiwa yang siap disatukan bersama kekasih-kekasih Ilahi. Karena pada akhirnya, bukan banyaknya amal yang menyelamatkan, melainkan kualitas mahabah yang mengakar dan hijab yang telah sirna.
Dalam dunia yang kian penuh fatamorgana, Torikoh adalah jalan pulang—jalan yang menuntun kita agar tidak hanya mengenal Tuhan, tapi juga dicintai-Nya.
---- Banyuarum Kauman Ponorogo)
Posting Komentar untuk "Menumbuhkan Mahabah, Mengikis Hijab: Pelajaran dari Baiat Torikoh di Masjid Al-Misbah"