Kiai Ali Barqul Abid dan jamaah |
Usai prosesi baiat Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Masjid Semanding, Jenangan, Ponorogo, serta pengajian malam yang syahdu bersama Kiai Ali Barqul Abid, kami bersiap pulang. Malam telah lewat tengah, udara lembab dan sunyi merayapi halaman masjid. Saat itulah, seorang jamaah mendekat, lirih memohon agar Kiai Ali berkenan mampir ke rumah ibunya yang tak jauh dari masjid.
"Inggih," jawab kiai singkat. Tidak ada raut keberatan di wajah beliau, meski kelelahan telah tampak dari sorot matanya.
Tak sampai satu kilometer, kami tiba di rumah sang ibu. Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan masakan hangat segera menyambut. Jamuan telah disiapkan dengan penuh hormat, seolah waktu bukan batasan untuk menyambut tamu kehormatan, terlebih seorang guru ruhani.
Setelah santap malam sederhana namun penuh berkah itu, dari ruang belakang, seorang perempuan sepuh dipapah dua anaknya. Dengan langkah pelan dan tubuh membungkuk, ia menghampiri Kiai Ali lalu menyembah seraya berkata, “Matur suwun kiai, sampun kersa rawuh.”
Namun, justru Kiai Ali yang membalas penuh rendah hati, “Kula ingkang matursuwun. Sampun katuran daharan ingkang katah.”
Tatapan sang kiai tak lepas dari wajah sang ibu. “Kula kemuten ibuk kula menawi mirsani panjenengan,” gumam beliau pelan, mengenang ibunya yang telah lama tiada.
Si ibu pun terisak, “Nyuwun pangapunten, kiai. Kula sampun mboten kiyat ndugeni masjid, mboten saged nderek ngaji.”
Lalu, dengan suara terbata ia menambahkan, “Kiai… kula pun sepuh. Kinten-kinten mboten dangu malih, sampun wancine. Sepuh menika, bade tindak pundi menawi mboten tilar? Lajeng amalan nopo ingkang damel siapaken?” Sebuah pernyataan jujur tentang usia, tentang kepergian yang semakin dekat.
Kiai Ali tak segera menjawab. Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Anak cucu si ibu hadir semua malam itu, duduk rapi bersama jamaah lainnya yang ikut baiatan. Mereka semua menatap sang guru, menanti wejangan.
“Rumiyin sampun nderek baiatan?” tanya beliau akhirnya.
“Sampun, kiai,” jawab anak cucunya serempak. Si ibu mengangguk pelan.
“Amalan ingkang dibaiataken meniko mawon diistikomahaken. Saben bibar sholat fardhu, La ilaha illallah kaping 165, lan dzikir sirr ‘Allah, Allah, Allah’ kaping 1000, kados ingkang diajaraken. Niku mawon,” tutur Kiai Ali lembut, namun pasti.
Si ibu mengangguk dalam, “Kula nderek panjenengan, kiai…”
Dengan suara yang dalam dan penuh keyakinan, Kiai Ali menenangkan, “Insyaallah mbenjang kita sami dikempalaken kalih guru-guru, lan para wali ingkang kita dereki. Kranten kita tenan-tenan tumut, lan modal remen dateng guru.”
Kalimat itu seperti angin sejuk menembus relung jiwa. Si ibu tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar lega. Senyum seorang murid yang merasa tak sendiri menghadapi maut. Ia merasa digandeng menuju akhir, bersama gurunya, menuju para kekasih Tuhan yang dulu ia rindukan.
“Mugi saget nderek panjenengan ngantos tutuking umur,” katanya lirih saat Kiai Ali berpamitan, dan diamini oleh sang kiai.
Dan malam itu kami pulang, meninggalkan rumah sederhana yang malam itu menjelma seperti majelis paling mulia. Di dalamnya ada guru, murid, cinta, pengabdian, dan rindu kepada Tuhan yang tak henti mengalir — hingga akhir usia.
--- Semanding Jenangan Ponorogo
Posting Komentar untuk "Menemani Sampai Akhir: Rengkuhan Guru di Ujung Malam"