Dzikir dalam Derit Bambu: Jalan Sunyi Menuju Allah

Jalan sempit itu berkelok-kelok, tanahnya berdebu. Di kanan kiri, rumpun bambu berdiri rimbun, menciptakan lorong alamiah yang sejuk dan teduh. Angin Juli yang lembut membuat batang-batang bambu berderit, bersuara lirih seperti gumaman dzikir dari alam. Di ujung jalan itu, di sebuah cekungan kecil yang tersembunyi, berdirilah Masjid Al-Amin—tempat yang menjadi saksi setiap malam Ahad Legi, saat dzikir thariqah menggema, menembus ruang batin para pencari Tuhan.

Malam itu, seperti biasa, jamaah mulai berdatangan setelah Isya. Usia mereka rata-rata telah lanjut, namun semangatnya tak surut. Mereka datang bukan sekadar untuk beribadah, tetapi untuk berserah. Untuk menepikan dunia, dan menepi kepada Yang Maha Ada. Di bawah pimpinan Kiai Ali Barqul Abid, mereka mengikuti prosesi baiat thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah An-Nahdliyah—sebuah ikrar spiritual yang menghubungkan hati murid kepada Allah melalui mursyid yang bersanad jelas hingga Rasulullah ﷺ.

Robbuna Allah...

“Siapa yang telah mengucapkan Tuhanku adalah Allah, maka apa pun yang ia lakukan, apa pun yang ia ucapkan, harus istiqamah,” begitu pesan Kiai Ali, lembut namun tegas.

Istiqamah—keteguhan hati dalam kebenaran—bukan sekadar konsistensi, tetapi sebuah kesungguhan ruhani yang menjadikan seluruh hidup sebagai pengabdian. Ketika semua dilakukan lillah—karena Allah—maka yang tampak pun hanya Allah. Itulah bentuk pengosongan diri dari segala selain-Nya. Maka sebagaimana QS. Fussilat: 30 menjanjikan, malaikat akan turun kepada mereka yang istiqamah: “Jangan takut, jangan bersedih...” bahkan di saat menghadapi kematian, ataupun setelah kematian. Di dalam kitab kitab lama, malaikat akan menggantikan keluarga, menemani dan mendampingi hingga alam barzah sampai ia dimasukkan syurga atas amal yang ia kerjakan saat di dunia.

Dzikir yang diamalkan dalam thariqah ini tidak semata lantunan kata, tapi latihan batin. Ada dua bentuk utama:
Pertama, dzikir Nahfi Isbat. Kalimat La Ilaha Illallah dibaca dengan gerakan ruhani: dimulai dari pusat tubuh, diarahkan ke dahi (antara alis), ke dada kanan, lalu dihentakkan ke dada kiri (tepat di jantung). Gerak ini bukan simbol, melainkan metode konsentrasi spiritual untuk menanamkan kalimat tauhid ke dalam setiap lathifah—titik kesadaran ruhani manusia.

Kedua, dzikir sirri (diam) Naqsyabandiyah. Bacaan “Allah... Allah...” dibisikkan ke dalam batin pada tujuh titik lathifah: qalb, ruh, sirr, khafi, akhfa, nafas, dan nafs. Masing-masing dua ratus kali, total lebih dari seribu kali penyebutan Asma Allah, dilakukan dalam sunyi, menembus keheningan malam dan menyusup ke lubuk kesadaran terdalam.

Baiatan ini bukan sekadar ritual. Ia adalah janji spiritual. Seseorang yang berbaiat, tidak hanya mengucap, tapi menerima tugas untuk menjaga dzikir, memperbaiki diri, dan kembali kepada Allah dalam segala keadaan. Pesantren dan masjid seperti Al-Amin ini bukan tempat eksklusif, tetapi menjadi oase batin bagi siapa pun yang merasa hampa dalam hiruk pikuk dunia.

Banyak orang mencari Tuhan dalam gemerlap, tetapi para pejalan sunyi menemukannya dalam gelap, dalam sepi, di tengah derit bambu yang berhembus pelan. Dalam keheningan itu, dzikir menggema, dan hati pun kembali pulang ke asalnya.


Posting Komentar untuk "Dzikir dalam Derit Bambu: Jalan Sunyi Menuju Allah"