Kiai Ali dan Jalan Sunyi Melawan Waswas

Kiai Ali Barqul Abid, dan santrinya

Di sebuah pagi yang biasa di terminal bus Ponorogo, suasana tampak berbeda. Seorang lelaki bersahaja berpeci dan bersarung tampak duduk mendampingi seorang pemuda bersarung juga, memegang tiket dan ransel besar. Ia bukan penumpang biasa, dan lelaki yang lebih tua di sampingnya bukan hanya sekadar pengantar.

Dialah Kiai Ali Barqul Abid, pengasuh pesantren sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Kali ini, ia sedang melepas salah satu santrinya yang akan pulang ke Jambi, Sumatera. Sebuah perjalanan dua hari dua malam, lintas pulau, yang belum pernah ditempuh sang santri sendirian.

“Bukan karena saya takut,” ujar Kiai Ali perlahan, “tapi karena saya bertanggung jawab. Dia masih terlalu muda untuk perjalanan sepanjang itu sendiri.”

Seketika Kiai Ali menjelaskan bahwa ada beda antara waswas dan tanggung jawab. “Yang satu berasal dari cinta, yang satu berasal dari keraguan terhadap Allah,” lanjutnya.

Khawatir Itu Wajar, Tapi Jangan Lupa Siapa Yang Menjaga

Kiai Ali bukan asing dengan dunia perjalanan. Dalam satu tahun, ia bisa bolak-balik Jawa–Sumatera dua hingga tiga kali untuk berdakwah. Naik bus malam, kapal laut, atau pesawat; semuanya sudah ia jalani.

“Di mana-mana saya selalu diingatkan: hati-hati sama orang baru di perjalanan, apalagi kalau kelihatan lugu,” kisahnya. “Katanya banyak penipu. Saya angguk saja, bukan karena setuju, tapi karena menghargai perhatian mereka.”

Namun pengalaman pribadi Kiai Ali justru membentuk pandangan yang berbeda. “Saya percaya semua orang itu baik. Orang Amerika ada yang baik, orang Arab pun ada yang buruk. Jangan pukul rata. Syak wasangka itu racun hati.”

Suatu kali, tasnya robek di bandara. Petugas keamanan pemeriksa barang bawaan membantu dengan sabar, bahkan mengarahkan ke jalur khusus untuk memperbaiki tas. Seorang petugas perempuan di sana memberi wadah pelindung untuk barang-barangnya. Ketika Kiai Ali hendak memberi ongkos, ibu itu menolak. “Itu semua saya anggap malaikat dalam bentuk manusia,” tuturnya sambil tersenyum.

Waswas: Hijab Halus yang Menghambat Cahaya

Menurut Kiai Ali, kekhawatiran yang berlebihan—waswas—adalah bentuk kemaksiatan yang tersembunyi. Karena di baliknya, tersimpan keraguan pada penjagaan Allah.

“Dan Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”
(QS. An-Nisa: 126)
Waswas bukan hanya mengacaukan hati, tapi juga memutus fokus. Pikiran jadi bercabang, ketenangan hilang, dan akhirnya seseorang terjebak dalam kekhawatiran yang belum tentu terjadi.

Dalam satu pengajian, Kiai Ali menyitir sabda Nabi Muhammad ﷺ:

 "Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya."
(HR. Tirmidzi no. 2317 – Hasan)
Istilah ini dikenal sebagai "Tarku mā lā yaʿnī" (ترك ما لا يعني) — meninggalkan apa yang tidak penting atau bermanfaat, baik untuk dunia maupun akhirat.

Kiai Ali menjelaskan bahwa memikirkan kemungkinan buruk, sebelum terjadi, adalah bagian dari perkara yang tidak bermanfaat. Islam, katanya, mengajarkan efisiensi hati dan pikiran — untuk hanya menyimpan yang bermanfaat, dan membuang segala yang merusak.

Pandangan Sufi: Saat Hati Sibuk dengan Dunia, Cahaya Tak Akan Masuk

Dalam tasawuf, para sufi menganggap “mā lā yaʿnī” sebagai hijab, penghalang antara hamba dan Allah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut, kesibukan batin terhadap perkara sia-sia adalah bentuk ghaflah (kelalaian), yang menutup hati dari dzikir dan makrifat.

“Kalau sebelum apa-apa sudah takut hal buruk, lalu kejadian benar-benar buruk, jangan-jangan bukan takdirnya yang jelek, tapi pikiran kita yang menjemputnya,” ujar Kiai Ali.
“Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya.”
(HR. Bukhari-Muslim, Hadis Qudsi)

Kabar telah menyeberang sampai Sumatra

Kholbu yang Bersih Menarik Takdir yang Baik

Sebelum berpisah, Kiai Ali menepuk bahu santrinya. “Perbaiki pikiranmu, perbaiki hatimu, perbaiki kholbumu. Kalau di dalam baik, maka yang terjadi insyaAllah juga akan baik,” katanya.

Baginya, husnudzon bukan hanya adab batin, tapi juga bentuk keyakinan dan doa tersembunyi. Takdir memang misteri, tapi prasangka baik adalah lampu kecil yang menerangi jalan di tengah ketidakpastian.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 216)
Dan ketika bus perlahan menjauh, membawa santri menuju Jambi, Kiai Ali tak tampak cemas. Ia duduk sebentar, membaca doa dalam hati. Tidak dengan takut, tapi dengan percaya. Karena baginya, semua yang berjalan — sepanjang bumi dan sepanjang waktu — adalah dalam pengawasan-Nya.


--- Tambakbayan Ponorogo 


Posting Komentar untuk "Kiai Ali dan Jalan Sunyi Melawan Waswas"