Masjid Panggung di Titik Terendahnya Ponorogo: Istikamah Dzikir di Aliran Kehidupan

Di tepian jembatan Sekayu, tepat di titik terendah kontur Ponorogo, berdiri sebuah masjid panggung dari kayu yang sederhana namun sarat makna: Masjid Al-Manshur. Masjid ini bukan sekadar bangunan ibadah, tetapi titik kumpul spiritual bagi jamaah Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah An-Nahdliyah (TQN-A) yang istikamah berdzikir mengharap ridha dan damai Ilahi.

Masjid Al-Manshur menjadi masjid kedua setelah Masjid Pondok Pesantren Manba’ul Adhim Bagbogo yang secara resmi memasang papan nama "Jama’ah Ahli Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah". Meski tergolong baru, arsitektur panggung dari papan kayu memberikan kesan antik yang bersahaja. Di sebelahnya mengalir Sungai Sekayu—muara dari segala penjuru: timur, selatan, dan barat Ponorogo, sebelum bersatu dengan Bengawan Madiun dan akhirnya bermuara ke Bengawan Solo yang menyatu dengan Laut Jawa. Sebuah metafora yang hidup tentang aliran takdir dan pengabdian manusia kepada Sang Khalik.

Dibangun atas prakarsa keluarga besar almarhum Bapak Fajar, seorang pegawai senior Pemerintah Daerah, masjid ini lahir dari niat luhur. Pengalaman dinas beliau di Kabupaten Nganjuk—kampung asal Kiai Imam Muhadi, mursyid Thoriqoh yang dikenal luas di Jawa Timur—menghubungkan mata rantai sanad spiritual yang kini bersemi di tanah Sekayu. Sejak awal, kegiatan dzikir dan baiat TQN-A rutin digelar setiap Senin Legi, mengikuti tradisi leluhur para salik.

Sepeninggal Bapak Fajar, tongkat estafet diteruskan oleh keluarga dan Pak Mujiono, pensiunan Kementerian Agama asal Lengkong, Sukorejo. Ia kini menetap di Pinggirsari, tepat di selatan masjid. Pak Mujiono sebelumnya aktif mengikuti kegiatan TQN-A di Masjid Pilangrejo Surodikraman, masjid yang dibina Kiai Thoyib. Dari beliaulah kegiatan baiatan TQN-A bersanad Kiai Imam Muhadi mulai aktif di Al-Manshur. “Baiat bukan sekadar seremonial, tapi ikrar batin untuk menjaga laku lahir dan batin,” tutur Pak Mujiono.

Waktu dzikir pun disesuaikan dengan ritme para jamaah—mayoritas pensiunan, pedagang, dan warga sekitar Sukorejo hingga Babadan. Mereka meluangkan waktu selepas Ashar hingga pukul lima sore. “Waktu pendek, tapi berkahnya panjang,” ujar salah satu jamaah sambil tersenyum.

Dalam salah satu baiatan, Kiai Ali Barqul Abid memberikan taujiah yang menenangkan jiwa. “Orang yang berikrar bahwa Tuhannya adalah Allah, lalu istikamah dalam dzikir Lā ilāha illallāh, maka ia punya kewajiban menjaga laku dan menundukkan diri kepada perintah-Nya,” ucap beliau. Dzikir bukan sekadar lisan, tapi pengingat batin agar tetap dalam rel ridha-Nya.

Kiai Ali lalu mengutip pesan Al-Qur’an:
 "Inna alladhīna qālū rabbunā Allāh, tsumma istiqāmū, tatanazzalu ‘alayhimu al-malā’ikah: allā takhāfū wa lā taḥzanū, wa abshirū bil-jannati allatī kuntum tū‘adūn"
(QS. Fusshilat: 30)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.’”

Menurut Kiai Ali, istiqamah dzikir adalah bentuk pengabdian total yang berbuah keberanian menghadapi kematian, bahkan kebahagiaan setelah kematian. Malaikat akan menyertainya—seperti keluarga di dunia—dalam kesendirian alam barzakh hingga dikumpulkan bersama para wali dan guru mursyidnya.

Masjid Al-Manshur mungkin tampak kecil di tengah riuhnya kehidupan. Namun dari tempat inilah semangat dzikir dan cinta Ilahi terus mengalir, seperti aliran Sungai Sekayu yang sabar dan tak pernah berhenti. Di sinilah para pencari makrifat merajut ketenangan, setia menapaki jalan thoriqoh dalam harap akan satu nama: Allah.


--- Sekayu Pinggirsari Ponorogo 


Posting Komentar untuk "Masjid Panggung di Titik Terendahnya Ponorogo: Istikamah Dzikir di Aliran Kehidupan"