Buah, Galah, dan Jalan Menuju Allah

Kiai Ali Barqul Abid ketika menjenguk Kia Muslimin saat terbaring gerah

Di sebuah sudut kampung pegunungan yang sejuk, tepatnya di Masjid Manba'ul Huda Bedingin, masih terus bergema wirid para salik—penempuh jalan spiritual—dalam baiatan Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah an-Nahdliyah. Tradisi ini telah berlangsung sejak zaman Kiai Imam Muhadi, dilanjutkan oleh Kiai Amenan Zamzami, dan kini diteruskan oleh Kiai Ali Barqul Abid. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tapak jejak spiritual para kiai yang merintis jalan-jalan langit dari desa kecil bernama Bedingin, Wringinanom, Sambit.

Kiai Muslimin, salah satu perintis generasi awal thariqah yang mondok sejak tahun 70-an di Pondok Pesantren Manba'ul Adhim yang diasuh Al mursyid Kiai Imam Muhadi, baru saja wafat menjelang Idulfitri kemarin. Harapan kini tertuju pada anak-anak beliau agar meneruskan jalan dakwah dan suluk yang telah digariskan. 

Kiai Ali Barqul Abid, dalam sebuah taujiah penuh perenungan, menyampaikan makna terdalam dari perjalanan spiritual ini, menyentuh inti penghambaan manusia kepada Allah, Sang Maha Segalanya.

Kiai Ali mengutip firman Allah yang menunjukkan tabiat manusia saat diuji. Ketika tertimpa musibah, tercekik kesulitan hidup, atau dihantam kemelaratan, manusia akan segera mengangkat tangan, berdoa, merintih, menangis, dan mengaku tak berdaya. Dalam keadaan demikian, ia memohon pertolongan Allah, berserah diri sepenuhnya. Dalam bahasa Kiai Ali: dledepe-dledepe—sebuah istilah Jawa yang menggambarkan kepasrahan total tanpa syarat.

Namun, ketika ujian telah berlalu dan nikmat datang menyapa, banyak manusia berubah. Ia merasa nikmat itu datang karena amalnya, karena usahanya, karena kepantasannya sendiri. Ia mulai lupa galah itu bukan miliknya. Ia hanya alat. Ibarat memetik buah menggunakan galah, saat berdoa saat susah, yang dilihat buahnya—yakni pertolongan Allah. Tapi setelah sukses, yang dibanggakan justru galahnya—yakni amal dan usaha dirinya sendiri. Ini, menurut Kiai Ali, adalah fitnah yang lebih berat dari musibah. Inilah istidraj—kenikmatan yang menipu.

Lihatlah kisah Qarun yang tenggelam dalam kekayaan, atau Salabah pada zaman Nabi Muhammad, yang awalnya rajin ibadah tapi runtuh saat diuji harta. Ujian kenikmatan sering kali lebih menghancurkan daripada ujian kesusahan. Karena kesusahan membawa manusia dekat kepada Allah, sementara kenikmatan sering membawa manusia merasa cukup tanpa-Nya.

Sambil berseloroh, Kiai Ali berkata, "Jangan keburu mati kalau persiapannya kurang!" Sebuah candaan yang justru menggugah: hidup ini singkat, dan kesempatan bertobat tidak selalu datang dua kali. Thariqah, bagi Kiai Ali, adalah jalan untuk merapikan hati dan meluruskan arah. Bukan sekadar tradisi, tapi metode pembinaan jiwa agar manusia tidak tertipu oleh galah, tapi selalu ingat bahwa buah itu datang dari Tuhan.

Tradisi baiatan di desa kecil ini adalah contoh nyata bagaimana spiritualitas Islam—yang mendalam dan membumi—terus hidup di tengah masyarakat. Ia bukan sekadar ritual, tapi sistem pendidikan hati, membentuk manusia yang sadar akan kelemahannya dan terus belajar menunduk di hadapan Allah. Di zaman serba cepat dan dangkal hari ini, barangkali kita semua butuh galah yang benar-benar tahu ke mana harus diarahkan: kepada buah, bukan kepada kesombongan diri.

----Bedingin Sambit)

Posting Komentar untuk "Buah, Galah, dan Jalan Menuju Allah"