Bahagia itu sederhana, namun banyak yang mencarinya dengan cara yang rumit. Ada yang menempuh jarak jauh, membayar mahal, bahkan menggantungkan kebahagiaannya pada benda atau pencapaian duniawi. Padahal, bahagia sejatinya bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang dibentuk—di dalam hati.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Ali Barqul Abid dalam satu takziahnya di Masjid Al-Anam, Sidorejo, Ponorogo, “Sumber kebahagiaan itu adalah hati, dan bersihnya hati.” Dalam pandangan Torikoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah yang beliau ajarkan, dzikir bukan sekadar rangkaian lafaz, melainkan jalan untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang membuat hidup terasa sempit: tamak, bakhil, dengki, benci, dan sombong.
Penyakit hati tak hanya merampas ketenangan batin, tetapi juga menutup mata kita dari keindahan hakiki kehidupan. Orang yang tamak tak pernah merasa cukup, orang yang iri tak pernah benar-benar bersyukur. Sementara sombong menjauhkan manusia dari kehangatan sesamanya, dan benci menggerogoti kebahagiaan bahkan sebelum ia tumbuh.
Kiai Ali pun mengingatkan akan bahaya tersembunyi dari sikap batin: tomak (berharap) kepada ibadahnya sendiri. Ibadah dijalani, namun harapan digantungkan bukan pada Allah, melainkan pada hasil atau balasan duniawi dari ibadah itu. Ketika yang diharap tak terwujud, kecewa pun datang. Padahal ibadah adalah jalan mengabdi, bukan alat transaksi.
Dalam kesempatan yang sama, Kiai Ali menceritakan kisah seorang sahabat Anshar di zaman Rasulullah. Ia bukan tokoh ternama. Ibadahnya pun tampak biasa saja. Namun Rasulullah menyebutnya sebagai ahli surga. Rahasianya? Ia memiliki hati yang bersih, penuh keikhlasan, dan tidak menyimpan dendam pada siapa pun. Kebahagiaan dan keselamatannya berasal dari hatinya yang lapang, bukan dari banyaknya amal lahiriah.
Kebahagiaan memang tak diukur dari banyaknya harta, gelar, atau prestasi. Ia bertumbuh dari dalam: dari hati yang ridha, pikiran yang jernih, dan jiwa yang terbebas dari penyakit batin. Maka, jika ingin bahagia, mulailah dari membersihkan hati. Sebab, seperti doa dzikir para sufi, "Ilahi anta maqsudi, wa ridlaka mathlubi" — Tuhanku, Engkau yang aku tuju, dan ridha-Mu yang aku harapkan.
--- Pintu Sidorejo Sukorejo Ponorogo)
Posting Komentar untuk "Kiai Ali : Bahagia Itu Di Hati, Baiatan TQN-A di Pintu Sukorejo "