JURANG GLAGAHOMBO, KASIHAN, PACITAN - Sunyi masih menjadi penguasa lembah di pelosok Pacitan ini. Hanya kicau burung hutan dan desah hewan ternak yang memecah kesenyapan. Hiruk pikuk kendaraan adalah suara langka, bisa jadi tak terdengar dalam sejam penuh. Sebuah ketenangan yang hampir tak tersentuh dunia luar. Namun, pagi itu, Senin (1 Juli 2025), suasana damai itu pecah oleh riuh rendah yang berbeda: tawa puluhan anak dan langkah riang mereka menyusuri jalan setapak.




Mereka, anak-anak usia TK, SD, dan MTs, berbondong-bondong menuju rumah sederhana Pak Reki. Rumah itu menjadi tempat peristirahatan Kiai Ali Barqul Abid, pimpinan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), usai memimpin acara Baiatan di Masjid Abdulrahman, tetangga tempat mereka belajar. Mereka adalah anak-anak jamaah Torikhoh, santri-santri Kiai Ali. Meski libur sekolah, semangat mereka tak surut. Mereka datang untuk menyapa, menyambut, dan sekadar ingin mendapat perhatian dari sang Kiai, guru spiritual orang tua mereka.
"Kiai... Kiai...!" sapa mereka penuh keceriaan, mata berbinar-binar. Mayoritas adalah murid dari MI Miftahul Ulum Kasihan yang gedungnya berdampingan dengan masjid tempat Kiai Ali beraktivitas. Bagi mereka, Kiai Ali bukan sekadar tokoh agama, tapi bagian dari panutan mereka., dan panutan orang tua mereka. Sore hari, rumah Pak Reki—seorang santri Kiai Ali, alumnus Pondok Pesantren Manba'ul Adhim Bagbogo Nganjuk—berubah menjadi riuh, tempat mereka mengaji Al-Qur'an di keseharian. Bahkan, tak jarang mereka menginap di "bedak" (ruang tidur tradisional Jawa) milik Pak Reki; anak perempuan di utara, anak laki-laki di selatan. Rumah dan bedak yang sederhana itu menjadi ruang bagi mereka menemukan kedamaian, juga bagi siapa pun yang singgah.
Tak sekadar bersalaman, mereka meminta yang terpenting: doa dan restu sang Kiai. "Mohon doanya, Kiai, untuk keselamatan dunia akhirat, kesuksesan masa depan," ucap seorang anak mewakili kerinduan kecil mereka. Kiai Ali menyambut hangat. Dengan senyum lebar dan sapaan lembut, ia menyapa satu per satu, bahkan sempat bercanda dan bermain ringan dengan mereka. Tangan beliau kemudian terangkat, memanjatkan doa tulus untuk masa depan generasi kecil itu.
"Ini generasi masa depan," ujar Kiai Ali penuh kebanggaan, matanya menyapu kerumunan anak-anak yang penuh harap. "Mereka, kelak, akan menjadi kader-kader penerus yang hebat." Pesannya singkat namun mendalam: "Patuhlah pada orang tua dan guru. Rajin mengaji." Sebelum berpisah, harapan pun disampaikan, "Semoga tahun depan kita bisa bertemu lagi di tempat ini, kuttipkan kalian ke Allah senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan, dan kecukupan"
Kiai Ali juga berpesan kepada para orang tua yang hadir. "Jaga anak-anak ini. Sirami dan pupuk mereka dengan agama," tegasnya, bagai petani yang merawat tunas harapan. "Yang kelak akan tumbuh subur dan menjadi andalan orang tua, bangsa, dan negara, baik di dunia maupun di akhirat."
Lingkungan Jurang Glagahombo, Kasihan, Pacitan, memang menyediakan setting yang unik bagi tumbuhnya benih-benih keimanan ini. Jauh dari keramaian kota, terlindung gunung dan lembah, dengan sinyal ponsel yang tersendat, dan nyaris bebas dari hiruk pikuk teknologi serta gadget. Di sini, menurut Kiai Ali, mengaji dan belajar di sekolah menjadi hiburan utama sekaligus penyejuk jiwa. Kedamaian yang terasa begitu nyata, bagai jeda panjang dari gemuruh dunia. Sepanjang mata memandang, hanya hamparan persawahan dan perkebunan hijau yang membentang, dikelilingi perbukitan yang menjulang, menjaga sunyi lembah ini—sunyi yang pagi itu sempat pecah oleh keriangan tawa dan doa untuk masa depan. Sebuah keheningan yang justru bermakna.
---- Pacitan Lembah Jurang )
Posting Komentar untuk "Damai di Lembah Jurang Glagahombo, Keriuhan Tawa dan Doa Menyambut Sang Kiai"