Merangkak Menuju Surga: Renungan tentang Penyakit Hati dan Kekayaan Sejati

Dalam kesunyian malam di Masjid Jurang, Glagahombo, Kiai Ali Barqul Abid mengingatkan jamaah Baiatan Torikhoh tentang penyakit hati yang menggerogoti spiritualitas manusia: "tulul amal" — angan-angan duniawi yang menjauhkan manusia dari hakikat hidup. "Barang siapa menjadikan dunia tujuan utama," tegas Kiai Ali, "Allah akan menempatkan kefakiran di pelupuk matanya. Ia takkan pernah puas, sekaya apa pun". Penyakit ini melahirkan ketakutan miskin yang akut, membelenggu jiwa dalam sikap bakhil. Sedekah pun tak lagi tulus, melainkan transaksi untuk keuntungan dunia. Orang Jawa menyebutnya: "hartanya tidak cementel"— harta yang tak membawa berkah, sekadar numpang lewat.

Kisah Abdurrahman bin Auf: Kaya Raya yang "Merangkak" ke Surga 
Sebagai ilustrasi, Kiai Ali mengisahkan Abdurrahman bin Auf, sahabat Nabi yang kaya raya namun dijanjikan surga dengan cara tak biasa: merangkak. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak" (HR. Al-Bukhari). Mendengar ini, Abdurrahman gusar. Ia berdoa meminta kemelaratan seperti sahabatnya, Mus'ab bin Umair, yang syahid hanya berkafankan sehelai kain. Namun, Allah justru melipatgandakan kekayaannya.

"Wahai Abdurrahman, pinjamkanlah hartamu kepada Allah agar kakimu ringan masuk surga," sabda Nabi menasihatinya.

Abdurrahman pun berubah: ia menyedekahkan 40.000 dinar, 500 ekor kuda, 1.500 unta, dan 400 dinar untuk setiap veteran Perang Badar. Ia bahkan menghibahkan 700 unta beserta seluruh muatan dagangannya sekaligus. Tapi ia tak pernah miskin. Justru, hartanya semakin berlimpah — bukti bahwa rezeki tak perlu dikejar, tapi dijemur dengan niat ikhlas.

Kekayaan Hati: Sugih Tanpa Bondo 
Di sinilah Kiai Ali menekankan paradigma baru: "Sugih Tanpa Bondo" (kaya tanpa harta), sebagaimana diajarkan Sunan Kalijaga. Bukan berarti menolak dunia, melainkan menjadikannya sarana akhirat. Orang yang niatnya lurus untuk Allah, urusannya akan diatur sempurna oleh-Nya. "Allah akan menjadikan hatinya kaya," ujar Kiai Ali. Rasa syukur menguasai dasar hati, mengubah setiap kerja menjadi ibadah.

Sebaliknya, mereka yang terobsesi dunia akan terjebak dalam "ubud dunia"— memperbudak diri pada materi. Ibadahnya pamrih, sedekahnya transaksional, hidupnya "kocar-kacir" meski harta menumpuk . Abdurrahman bin Auf adalah contoh nyata: meski kaya, ia tak lekat pada harta. Saat wafat, ia malah menangis khawatir kekayaannya mengurangi pahala. 

Merangkak: Metafora atau Realitas? 
Kiai Ali juga mengingatkan agar kisah "merangkaknya" Abdurrahman tak dipahami secara harfiah. Esensinya bukan pada cara masuk surga, tapi pada peringatan Nabi agar harta tidak menjadi beban akhirat. Merangkak di sini adalah simbol bahwa kekayaan — jika tak disucikan dengan sedekah — bisa memperlambat langkah menuju surga.

Penutup: Memetik Hikmah di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Ceramah Kiai Ali berakhir saat fajar menyingsing, meninggalkan renungan mendalam:  
Allah mengatur rezeki. Bukan jatahmu, dikejar pun tak akan datang. Yang jatahmu, dijauhi tetap akan menghampiri"
Kisah Abdurrahman bin Auf mengajarkan bahwa kekayaan sejati terletak pada kemampuan "meminjamkan harta kepada Allah" — melalui kedermawanan, keikhlasan, dan keyakinan bahwa setiap infak adalah benih yang tumbuh di surga. Di tengah dunia yang makin materialistis, teladan ini menjadi lentera: bahwa "hati yang kaya adalah hati yang merdeka dari ketakutan akan fakir, dan penuh syukur atas jatah yang cukup".  
Sesungguhnya, Mush'ab bin Umair lebih baik dariku. Ia meninggal tanpa kain kafan yang layak... Aku takut ditahan dari sahabat-sahabatku karena banyak hartaku,"— Ratapan Abdurrahman bin Auf.
Mampukah kita, seperti dia, menjadikan harta sebagai jembatan — bukan penghalang — menuju surga?  

---Jurang Jurug Pacitan)

Posting Komentar untuk "Merangkak Menuju Surga: Renungan tentang Penyakit Hati dan Kekayaan Sejati"