Baiat di Atas Awan: Perjalanan Spiritual di 'Lantai Dua'-nya Pacitan

PACITAN — Medan menuju Desa Kasihan di Pacitan, Jawa Timur, adalah ujian kesabaran: tanjakan terjal berkelok, turunan curam bagai ditoreh pahat, dan tikungan ekstrem yang menguji nyali. Bagi warga lokal, ini adalah keseharian. Bagi pendatang? Sebuah peringatan: "Cari sopir pengganti orang lokal, dan jangan bawa mobil matic!" nasihat seorang warga sambil tersenyum. Di balik rintangan geografis inilah, sebuah ritual spiritual abad ke-19 tetap hidup: Baiat Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah An-Nadliyah (TQN-A) di Masjid Al Idris, yang oleh masyarakat setempat dijuluki "Pacitan Lantai Dua".  

Medan Berat, Iman Kuat: Jejak Para Mursyid  
Perjalanan spiritual ke Kasihan adalah warisan kesinambungan sanad. Kiai Imam Muhadi, penerima mandat dari Kiai Mustain Romli di Rejoso Jombang, adalah tokoh kunci yang membawa tarekat ini ke Pacitan barat pada masa Orde Baru. Kisah perjuangannya melegenda: ia menempuh perjalanan dari Nganjuk naik bus ke Ponorogo, berganti bus jurusan Pacitan, turun di Tegalombo, lalu menyelesaikan sisa perjalanan dengan ojek motor. Bahkan konon, ia pernah mengayuh sepeda onthel melintasi bukit-bukit ini 
 
Penerusnya, Kiai Ammenan Zamzami, dan kini Kiai Ali Barqul Abid, memastikan api sanad tak padam. "Sanad ini tidak boleh putus. Dzikir yang dibaiatkan akan lebih khusyuk karena ada bimbingan guru," tegas Kiai Ali dalam sebuah taujiah di Banyuarum, Ponorogo . Sanad itu bersambung dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Syekh Bahauddin Naqsyaband, melalui Syekh Ahmad Khatib Sambas, hingga ulama Nusantara .  

Ritual Semalam Penuh: Dari Magrib hingga Fajar  
Saat bulan Muharam tiba – bulan yang disebut Kiai Ali sebagai "bulan dicintai Allah, mustajab selain Ramadhan dan haji" – Masjid Al Idris berubah menjadi episentrum spiritual. Sejak bakda Asyar, ratusan jamaah – mayoritas lansia – sudah memadati pelataran. Mereka datang dengan cara mencengangkan: berjalan kaki menaiki dan menuruni lembah untuk memotong jarak, sebagian naik motor, bahkan ada yang naik truk terbuka meski harus memutar jauh .  

Baiat di Kasihan bukan sekadar ikrar. Ini adalah maraton spiritual setahun sekali: 7 wirid Latifah diberikan dalam semalam, diselingi hanya untuk makan-minum seperlunya. "Ini kesempatan kami bertemu sang guru," ujar Mbah Lamijan (72), wajahnya bersinar meski tubuh renta. Ritual ini adalah manifestasi disiplin tasawuf: pembersihan hati (takhalli), pengisian sifat terpuji (tahalli), dan penyatuan dengan Ilahi (tajalli) .  

Baiat: Antara Kewajiban dan Transformasi  
Dalam taujiahnya, Kiai Ali menegaskan filosofi baiat:  
Membersihkan najis kotoran hati dan pikiran hukumnya wajib. Setelah dibersihkan, diisi dengan kebaikan dan hal terpuji, lalu dihiasi kebaikan pula."

Pacitan: Tanah Para Wali dan Medan Sufi  
Konteks geokultural Pacitan sebagai "lantai dua" spiritual bukan kebetulan. Wilayah ini adalah bagian dari eks-Kadipaten Wengker Kidul yang secara kultural terhubung dengan Ponorogo Selatan – daerah yang dalam catatan sejarah hanya bisa "ditundukkan" oleh kiai-kiai sakti seperti Kyai Ageng Muhammad Besari dari Tegalsari . Jejak Islamisasi di sini dibawa murid-muridnya, termasuk Syekh Yahuda di Ngadirojo, yang makamnya menjadi situs ziarah .  

Tarekat TQN-A tumbuh subur di bumi seperti ini: wilayah perbukitan terpencil yang menjadi "laboratorium ketahanan iman". Medan berat Kasihan adalah metafora perjalanan sufistik itu sendiri – sebagaimana dzikir dalam tarekat ini adalah senjata untuk "melemahkan sifat ujub, riya, dan hawa nafsu, ibarat harimau jadi macan ompong" .  

Relevansi di Era Digital: Antara Tradisi dan Modernitas  
Di tangan Kiai Ali Barqul Abid, TQN-An Nadliyah menjawab zaman. Majunya media sosial memudahkan komunikasi dengan guru, sementara pendekatan yang lebih luwes menarik minat generasi muda . Gelombang baru ini membawa energi segar sekaligus tantangan: menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, mencegah pergeseran nilai, dan membina konsistensi generasi muda.

Namun, esensi ritual di Kasihan tetap tak tergantikan: kehadiran fisik, keteduhan bimbingan mursyid, dan kebersamaan jamaah. Seperti pesan Kiai Ali: "Manusia boleh menguasai dunia, tapi jangan sampai dunia menguasai hatinya" . Di tengah gempuran individualisme, baiat di bukit Kasihan mengingatkan kita pada sebuah paradoks: di puncak tanjakan terjal, justru di sanalah manusia menemukan ketenangan sejati.  

Tarekat bukan pelarian, melainkan jalan menemukan jati diri sejati: hamba Allah yang merdeka dari belenggu nafsu." 

Posting Komentar untuk "Baiat di Atas Awan: Perjalanan Spiritual di 'Lantai Dua'-nya Pacitan"