Mengalah sebagai Puncak Kemenangan: Refleksi Kearifan di Lapangan Jetis

Kyai Ali Barqul Abid
PONOROGO – Dentum bola voli membahana di Lapangan Jetis, riuh rendah penonton memecah malam. Di tengah hiruk-pikuk pertandingan Piala Kapolres, Kiai Ali Barqul Abid duduk tenang di pinggir lapangan. Matanya mengamati dinamika permainan, tetapi pikirannya menyelami permainan jiwa yang lebih dalam. Baru saja beliau dari baiatan Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah di Masjid Tegalsari yang berjarak tidak jauh lapangan ini. Kini, di tengah sorak-sorai kompetisi, beliau menyampaikan wejangan yang menggetarkan kesadaran:  
Orang yang salah terus diam, ngalah itu sudah biasa. 
Orang benar, dan merasa benar, itu sebenarnya juga lumrah. 
Tapi orang dalam posisi benar, punya otoritas, punya kekuasaan, punya senjata, lalu mau mengalah, merendah diri, bahkan menutupi rasa benarnya demi situasi kondusif—
itulah keluhuran yang luar biasa.”  
Kiai Ali menjelaskan bahwa merasa paling benar adalah manifestasi kesombongan—penyakit hati yang meracuni relasi sosial. “Ini harus dibersihkan,” tegasnya. “Tanpa pembersihan ini, sifat welas asih, rendah hati, dan saling menghormati tak mungkin tertanam.”  Proses pembersihan hati (tazkiyatun nafs) bukan sekadar menghilangkan sikap negatif, melainkan mengisinya dengan kebaikan aktif : kesantunan, empati, dan kerendahan hati .  

Metafora pertandingan voli yang beliau saksikan menjadi analogi tajam. Dalam kompetisi, hasrat menang sering memicu konflik. Namun, para pemain yang bijak memahami bahwa menjaga harmoni lebih mulia daripada mempertahankan ego. “Buat apa diakui manusia kalau tidak mulia di hadapan Allah?” ujar Kiai Ali.  

Wejangan ini menohok nalar kekuasaan modern. Di tengah masyarakat yang gemar berdebat tanpa ujung, Kiai Ali menegaskan bahwa penguasa sejati bukan yang memaksakan kebenaran, melainkan yang rela “mengalah” demi kedamaian kolektif. Ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan tertinggi. Beliau menyitir konsep tawadhu’ (kerendahan hati) dalam tasawuf: sikap di mana kebenaran tak perlu diklaim, karena cahayanya terpancar sendiri.  

Lapangan Jetis pun menjadi ruang pembelajaran. Di satu sisi, ada semangat kompetisi voli yang memanas; di sisi lain, ada ketenangan Kiai Ali yang mengingatkan bahwa konflik tak harus dimenangkan dengan dominasi, tapi bisa didamaikan dengan kemurahan hati. 
 
Dalam konteks Indonesia yang kerap terkotak oleh polarisasi, wejangan ini bagai oase. Kiai Ali tak sekadar berbicara tentang etika individual, tapi strategi kebudayaan untuk merawat harmoni. Ketika pemegang otoritas—entah politisi, penegak hukum, atau pemimpin agama—mau “menutupi rasa benar”-nya demi stabilitas, langkah itu mencegah eskalasi konflik yang merusak sendi sosial .  

Pasca-baiat TQN, pesan ini juga mengingatkan bahwa jalan spiritual bukan hanya ritual, tapi praktik nyata dalam dinamika keseharian. Seperti voli di Jetis: terkadang kita perlu “membiarkan bola lawan mendarat” agar permainan kehidupan terus berlangsung.  

Di tengah gemuruh tepuk tangan untuk pemenang pertandingan, Kiai Ali berbisik: “Kemenangan sejati adalah saat kita bisa mengalah tanpa merasa kalah.” Wejangan ini bukan ajaran pasif, melainkan seni mengelola kekuasaan dengan bijak. Di lapangan yang sama, di antara teriakan dan debu, Ponorogo menyimpan pelajaran universal: kadang, merendah adalah cara paling anggun untuk menang.  
Jangan bersihkan hati saja. Isi dengan welas asih. Maka kesombongan tak akan kembali.” 
—Kiai Ali Barqul Abid  

---  Lapangan voly Pemdes Jetis

Posting Komentar untuk "Mengalah sebagai Puncak Kemenangan: Refleksi Kearifan di Lapangan Jetis "