Gus Ali: Kadang kita perlu melewati hal terburuk, untuk mendapatkan hal terbaik.

Kiai Ali
Suatu senja di sudut pesantren, udara basah membawa aroma tanah usai hujan. Seorang santri muda duduk lesu di hadapan Kiai Ali, menumpahkan beban yang mengimpit dadanya: kegagalan, kehilangan, dan jalan buntu yang terasa mustahil dilalui. Dengan mata teduh penuh kesabaran, Kiai Ali mendengarkan. Lalu, seperti mengalirkan air bening ke tanah kerontang, jawabannya pun mengalir, 

Kadang kita perlu melewati hal terburuk, untuk mendapatkan hal terbaik."

Kalimat sederhana itu bukan sekadar pepatah penghibur. Ia adalah intisari pengalaman para pencari hakikat yang telah menempuh jalan panjang menuju Sang Maha. Kiai Ali mengisahkan tentang para wali, para kekasih Allah. Bagi mereka, kata sang Kiai, cobaan bukanlah musibah yang ditakuti, melainkan tamu yang dikenal. Mereka bahkan "bertanya-tanya" bila masalah tak kunjung datang. Bukan karena menantang takdir atau mendamba kesulitan. Bukan. Namun, ada kegelisahan yang lebih dalam: "Apakah Allah tak lagi sayang padaku?"

Di sinilah letak kebijaksanaan yang luar biasa. Kerinduan akan cobaan itu bukan romantisasi penderitaan, melainkan pengakuan mendalam akan kasih sayang Ilahi. Dalam pandangan mereka, ujian adalah bukti perhatian Allah, kesempatan untuk diangkat derajat, untuk diampuni dosa, untuk didekatkan pada-Nya. Ketidakhadirannya justru menimbulkan tanda tanya: apakah aku masih dianggap, masih diperhitungkan dalam rencana-Nya yang penuh hikmah?

Kiai Ali juga mengingatkan sang santri—dan kita semua—akan skala persoalan. "Masalah yang kita hadapi," katanya, "tak seberat yang dihadapi guru-guru terdahulu, orang tua dan leluhur kita terdahulu." Di tengah hiruk pikuk zaman modern, kita mungkin merasa beban kita paling berat. Namun, sejarah panjang perjuangan manusia mengajarkan bahwa generasi sebelum kita telah menghadapi tantangan yang seringkali lebih keras, lebih mematikan, dengan sumber daya yang jauh lebih terbatas.

Namun, ini bukan berarti penderitaan kita diabaikan. Justru di sini terletak jaminan yang menghangatkan: "Tiada cobaan diberikan kepada manusia selain sesuai kemampuan manusia yang mendapatkan cobaan itu." Allah, dalam kemahatahuan dan keadilan-Nya, tidak akan membebani jiwa di luar batas kesanggupannya. Setiap rintangan yang datang telah melalui "filter" rahmat-Nya, disesuaikan secara personal dengan kapasitas, kekuatan, dan potensi tumbuh kita. Cobaan itu, seberat apa pun rasanya, adalah bukti kepercayaan Allah bahwa kita mampu melaluinya, dan akan keluar lebih kuat.

Lalu, bagaimana menyikapinya? Kiai Ali mengajarkan sikap wisdom (arif, bijaksana), kebijaksanaan yang tenang. "Suka duka, untung buntung, datang pergi," semua adalah siklus hidup yang harus disikapi dengan kesadaran penuh bahwa ia bersumber dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Rentetan kejadian, pahit maupun manis, bukanlah sekadar peristiwa acak. Ia adalah "bagian pendewasaan, tahapan iman." Setiap ujian adalah pahat yang membentuk karakter, api yang memurnikan keyakinan, dan tangga yang mengangkat derajat spiritual kita menuju kematangan.

Esai ini mengetengahkan ajaran Kiai Ali tentang makna cobaan. Ia mengajak kita melihat ujian bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai bentuk kemurahan Allah. Lewat kisah santri dan kearifan sang kiai, kita diingatkan bahwa di balik "hal terburuk" sering tersembunyi "hal terbaik"—jika kita memiliki mata hati untuk melihatnya, dan ketabahan untuk melaluinya. Kesedihan adalah guru, kegagalan adalah batu loncatan, dan kehilangan seringkali membuka jalan pada perolehan yang lebih hakiki. Di tengah derasnya arus kehidupan, ajaran Kiai Ali bagai mercusuar, mengingatkan: setiap gelombang cobaan membawa kapal jiwa kita lebih dekat ke pantai kedewasaan dan kedekatan pada Sang Maha Pemberi Ujian.

Posting Komentar untuk "Gus Ali: Kadang kita perlu melewati hal terburuk, untuk mendapatkan hal terbaik."