Kiai Ali: Air Mata Ibrahim dan Welas Asih yang Membebaskan

Suatu hari, di tengah terik gurun yang membakar, seorang pendeta kelaparan mendatangi Nabi Ibrahim. Perutnya keroncongan, tenaganya nyaris habis. Dengan belas kasih yang menjadi tabiatnya, Ibrahim segera menyiapkan makanan. Namun, saat hendak menyodorkannya, sebuah syarat terlontar: "Jika engkau ingin makan ini, pindahlah keyakinanmu. Ikuti agamaku."

Sejenak, langit seakan terhening. Lalu, datanglah teguran Allah yang mengguncang hati sang Khalilullah (kekasih Allah): "Wahai Ibrahim! Delapan puluh tahun engkau berjalan dalam iman kepada-Ku, taat beribadah, tak pernah sekali pun Aku mendengar engkau memberi syarat untuk imanmu. Tak pernah kau meminta imbalan. Kini, hanya karena sekali diminta, engkau memberi makan pun kau beri syarat?"

Teguran itu seperti pedang menembus relung jiwa yang paling dalam. Nabi Ibrahim pun menangis tersedu-sedu. Air matanya bukan hanya penyesalan atas syarat yang ia ajukan, tetapi juga keinsyafan mendalam tentang hakikat kepasrahan tanpa kalkulasi. Ia yang terkenal sebagai teladan kesabaran dan keimanan, tergelincir sejenak dalam ujian kecil kemanusiaan. Ia segera menghampiri pendeta itu, memberikan makanan dengan tangan terbuka, tanpa syarat apapun, hanya karena sang pendeta lapar.

Dan di sinilah keajaiban welas asih terjadi. Menyaksikan ketulusan yang tiba-tiba memancar dari air mata dan pemberian tanpa syarat itu, hati pendeta yang keras itu justru luluh. Ia bukan terpikat oleh argumen teologis, melainkan tersentuh oleh belas kasih yang universal, yang tak memandang bulu agama atau suku. Ia melihat cahaya keilahian dalam kedermawanan yang tulus itu. Akhirnya, dengan sukarela, ia menyatakan keimanan, mengikuti jalan tauhid yang dibawa Ibrahim. Welas asih tanpa pamrih itulah yang membuka pintu hatinya, bukan paksaan atau syarat.

Kisah ini, sebagaimana dikisahkan oleh Kiai Ali Barqul Abid dalam bai'at Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah di Masjid At-Taqwa Ngunut, Babadan, Ponorogo, bukan sekadar dongeng masa lalu. Ia adalah cermin bagi karakter Nabi Ibrahim yang sesungguhnya: seorang yang hatinya lapang bagai samudera dalam berbuat baik. Kedermawanannya legendaris. Saking ringannya tangan memberi di jalan Allah, ia kerap lupa menyisakan untuk diri dan keluarganya sendiri. Saat ditanya rahasianya, jawabannya singkat namun menghunjam: "Tak ada di dunia ini yang kucintai melebihi cintaku kepada Allah." Bahkan, dengan keyakinan penuh ia pernah berucap, "Seandainya anakku diminta, akan kukorbankan pula untuk-Nya." Ucapan itu terlontar saat ia belum dikaruniai anak, sebuah janji kesetiaan yang tulus dari lubuk hati terdalam.

Dan sejarah mencatat, Allah menguji kesungguhan cinta itu. Ketika Ismail, buah hati yang sangat didambakan dan disayangi, telah hadir, datanglah perintah untuk mengurbankannya. Ujian yang maha berat itu menjadi asal muasal ibadah kurban yang kita kenal, simbol puncak kepasrahan dan pembuktian cinta tertinggi kepada Sang Pencipta. Namun, esensi kurban Ibrahim bermula jauh sebelumnya: dari kesediaannya melepas segala yang dicintai duniawi demi Allah, termasuk dalam kedermawanan hariannya yang tanpa batas.

Kisah Ibrahim dan pendeta ini membawa kita pada renungan mendalam tentang motivasi berbuat baik dan beribadah, sebagaimana diajarkan para sufi seperti Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam. Seringkali, tanpa sadar, kita "curiga" atau tidak yakin sepenuhnya kepada Allah. Ibadah dan amal kebaikan kita diselubungi oleh "maksud" tersembunyi: mengharap surga, takut neraka, ingin dipuji, atau bahkan – seperti Ibrahim sejenak – ingin mengonversi keyakinan orang lain. Syekh Ibnu Athaillah mengingatkan tentang adab dalam berharap terkabulnya doa dan niat. Ibadah karena ada tujuan duniawi atau akhirat tertentu, meski tidak salah, berada pada tingkatan yang lebih rendah.

Menurut Kiai Ali, puncak dari perjalanan spiritual, sebagaimana tercermin dalam doa "Illahi Anta Maqshudi wa ridhaka mathlubi" (Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan keridhaan-Mu yang kucari), adalah ketika Allah semata menjadi tujuan. Bukan surga yang diidamkan, bukan neraka yang ditakuti, bukan pujian yang diharap, melainkan hanya Allah, Sang Kekasih Sejati. Inilah maqam "mahabbah", cinta murni yang membebaskan. Ibrahim mencapai ini. Welas asihnya yang tanpa syarat kepada pendeta itu adalah manifestasi cinta kepada Allah, bukan alat dakwah.

Di tengah dunia yang masih diselimuti konflik atas nama suku, agama, dan golongan, kisah Ibrahim dan pendeta itu bagai oase. Ia mengajarkan bahwa welas asih yang tulus, yang diberikan tanpa memandang identitas, memiliki daya transformasi yang lebih dahsyat daripada paksaan atau syarat. Ia mampu meluluhkan tembok-tembok perbedaan. Air mata penyesalan Ibrahim dan pemberian tanpa syaratnya menjadi kunci pembebasan bagi sang pendeta dan juga bagi hatinya sendiri.

Maka, kurban kita hari ini bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ia adalah simbol kesanggupan untuk mengurbankan ego, syarat-syarat terselubung dalam berbuat baik, dan segala sesuatu yang menghalangi cinta murni kita kepada Allah dan sesama. Seperti Ibrahim, marilah kita berlatih memberi tanpa kalkulasi, mencintai tanpa syarat, dan menjadikan keridhaan Ilahi sebagai satu-satunya tujuan. Karena, dalam welas asih yang membebaskan itulah, iman menemukan cahayanya yang paling terang, terang Kiai Ali mengakhiri taujiahnya.

Posting Komentar untuk "Kiai Ali: Air Mata Ibrahim dan Welas Asih yang Membebaskan"