Di Masjid Al Misbah, Para Lansia Mengajarkan Arti Ibadah yang Tak Tercampur Keraguan


BANYUARUM PONOROGO -  Angin malam menyelinap lewat jendela-jendela kayu Masjid Al Misbah, Banyuarum Kauman. Di dalamnya, puluhan jamaah sepuh duduk bersila di atas sajadah yang telah menyerap jutaan doa. Wajah-wajah yang berkeriput oleh waktu itu bersinar dengan ketenangan yang sulit dijelaskan. Mereka adalah saksi bisu perjalanan spiritual masjid ini: sejak era Kiai Imam Muhadi, melewati masa Kiai Amenan Zamzami, hingga kini dibimbing oleh Kiai Ali Barqul Abid. Fisik mereka mungkin renta, tetapi semangat mereka untuk hadir dalam baiat Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah malam ini, mengalahkan banyak yang muda.

Di tengah khidmat itu, wejangan Kiai Ali Barqul Abid mengalir lembut namun menembus relung hati. Ia bicara tentang tingkatan-tingkatan ibadah, mengutip hikmah Syekh Athaillah as-Sakandari. "Ada tingkatan," ujarnya, suara parau namun penuh wibawa, "di mana seseorang beribadah masih disertai 'arep-arep', 'harapan', masih ada curiga dalam hati kecilnya. Jangan-jangan Allah tidak menepati janji-Nya? Padahal, Allah telah berfirman jelas, 'Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya' (QS. Ath-Thalaq: 2)."

Kiai Ali melanjutkan, mengingatkan tentang qadar yang telah ditetapkan. Setiap nafas kita, rezeki kita, semuanya telah terukur. "Sesuatu jika sudah menjadi jatahmu, pasti akan datang kepadamu. Bukan jatahmu, meski kau kejar sekuat tenaga, tak akan kau raih." Logikanya sederhana namun mendalam: "Lihatlah, Allah Maha Pengasih. Bahkan kebutuhan orang yang jauh dari takwa pun dijamin dan dijadwalkan oleh-Nya. Lalu, pantaskah ibadah kita dijadikan alat untuk menagih dunia? Ibadah adalah untuk Allah. Dunia? Itu fasilitas yang dijamin untuk mendukung ibadah kita."

Esensi wejangan Kiai Ali itu adalah tentang puncak ibadah. Bukan untuk mengharap pahala, surga, atau takut neraka. Bukan pula untuk meminta solusi duniawi. "Puncaknya," tegasnya, mengutip dzikir yang dalam, "'Illahi Anta Maqsudi' (Ya Allah, Engkaulah Tujuanku)." Inilah tingkatan orang yang telah dekat (wushul) dengan Allah. Mereka beribadah bukan lagi untuk mendapatkan sesuatu, melainkan semata karena Allah adalah satu-satunya yang dituju. Mereka telah melampaui hitung-hitungan.

Mencapai maqam ini, lanjut Kiai Ali, bukan perkara instan. Perlu latihan (riyadhah) yang konsisten, kesabaran menempuh waktu, dan yang terpenting, kuasa serta hidayah dari Allah semata. "Memang, meminta dalam doa itu sah-sah saja," akunya. "Namun, menjadikan ibadah atau amal sebagai alat tawar-menawar, sebagai kompensasi untuk mengharapkan sesuatu, itu tidak elok bagi seorang shalik (penempuh jalan spiritual)."

Di sinilah pesan inti yang ia ulang-ulang dengan penekanan: "Perbaiki niat! Perbaiki niat! Dan perbaiki niat!" Tiga kali pengulangan itu bukan retorika kosong. Itu adalah palu godam yang mengetuk kesadaran. Niat yang ikhlas, yang bersih dari segala kepentingan terselubung, keraguan (arep-arep), atau kekhawatiran (harapan), adalah fondasi segala amal.
Menyaksikan jamaah sepuh di Masjid Al Misbah malam itu adalah pelajaran hidup. Meski tubuh digerogoti usia, antusiasme mereka menyala-nyala. Mereka mungkin telah melalui berbagai tingkatan ibadah dalam hidup panjang mereka: dari yang masih penuh harap dan hitung pahala, hingga yang mungkin mulai merasakan nikmatnya wushul, nikmatnya ibadah itu sendiri sebagai tujuan. Kehadiran mereka yang tekun, meski langkah mungkin tertatih, adalah bukti nyata dari perjuangan memperbaiki niat itu. Mereka belajar, hingga ujung usia, untuk melepas keraguan, menyerahkan sepenuhnya pada Qadar, dan menghadirkan hati semata kepada Sang Ma’bud: Illahi Anta Maqsudi.

Di tengah dunia yang sering menjadikan ibadah sebagai transaksi, kisah keteguhan para sepuh di Ponorogo ini adalah oase. Mereka mengingatkan, bahwa puncak perjalanan spiritual adalah ketika kita beribadah bukan lagi untuk sesuatu, melainkan karena Dia semata. Dan perjalanan menuju ke sana dimulai, dan terus diperbarui, dengan satu langkah sederhana namun mendasar: memperbaiki niat. Sekali lagi, memperbaiki niat, pesan Kiai Ali Barqul Abid mengakhirinya pengajiannya.

Posting Komentar untuk "Di Masjid Al Misbah, Para Lansia Mengajarkan Arti Ibadah yang Tak Tercampur Keraguan"