Suasana menjelang malam di tempat pengurus masjid itu hangat dan tenang. Seorang lelaki, badannya tegap namun langkahnya ragu, mendekati Kiai Ali yang sedang duduk. Wajahnya memancarkan malu dan grogi yang nyaris membungkam. Ia mencoba berbicara, tapi suaranya terputus-putus, gagap, bagai tertahan oleh beban kekhawatiran yang tak terucap. Matanya tak berani menatap lama, tapi selalu tertarik kembali pada senyuman Kiai Ali – senyuman yang seperti telaga di tengah gersangnya keraguan, damai dan meneduhkan.
"Mas Kula matur suwun sampun pinanggih panjenengan," ucapnya akhirnya, terbata-bata, seperti merangkai kalimat dari pecahan kaca. "Diajari dzikir La illaha illallah..." Suaranya tersendat, tak lancar, namun ada getaran ketulusan di dalamnya. Kiai Ali hanya tersenyum lebih lebar, menebar ketenangan. "Panjenengan daleme pundi?" tanya sang Kiai, lembut, memecah kebekuan.
"Kula kilen prapatan Ngambakan, Mas," jawabnya lugu. Matanya melirik sekilas ke arah seorang teman di seberang yang sebelumnya memberi kode halus – Kiai, jangan panggil 'Mas'. Tapi kegugupan dan keluguan tampak lebih kuat. "Maaf, saya orangnya lugu, mboten ngerti agama, bingung mulai saking pundi belajarnya," lanjutnya, polos. "Tapi bersyukur nek Gusti Allah dipanggihne kalih panjenengan, Mas..." Kiai Ali mengangguk berulang-ulang, mendengarkan dengan seluruh jiwa, seakan setiap kata dari mulut yang gagap itu adalah mutiara.
"Kula tukang las," ungkapnya, membuka sedikit tabir kehidupannya. "Kumpulane tiyang macem-macem. Bade belajar agama bingung." Lalu, cahaya muncul di matanya. "Tapi wonten konco sing ngajak dateng pengajian panjenengan niki wau..." Nafasnya terengah sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. "Rasane ayem ati pingin nangis amargi seneng." Ayem. Kata itu terucap penuh makna. Sebuah kedamaian yang mungkin lama tak ia rasakan di tengah percikan las dan keramaian dunia.
Keraguannya muncul lagi, tentang amal yang belum sempurna. "Yen sholat sunah wau kula dereng apal, pripun?" tanyanya, penuh kerendahan hati. Jawaban Kiai Ali sederhana namun menghujam: "Mboten nopo-nopo. Mangke kersa rutin dugi acara kados niki, dangu-dangu saget." Sebuah penegasan bahwa jalan ini tentang konsistensi, bukan kesempurnaan instan.
Getar emosi semakin kuat dalam suaranya. "Salama niki salat cuma salat salatan... pingin belajar tapi dereng nemu dalan. La kok niki wau panggih panjenengan... ati kula ayem lan manteb pun ketemu dalan kula, panjenengan!" Rasa syukur dan haru itu nyaris membuatnya gemetar. Ia pun bercerita tentang pengalaman spiritual sebelumnya diajak temannya ke Nganjuk, di sebuah acara haul yang juga memberinya rasa "ayem seneng", meski saat itu ia tak paham betul acara apa dan tak tahu apa yang harus ia lakukan..
Kiai Ali tersenyum memahami. "Niku nggene Kula. Niku haule Abah Kula, kiai ingkang kita dereki," jawabnya, mengungkap benang merah yang tak disangka: tempat yang pernah memberinya kedamaian itu adalah tanah leluhur dan pondok sang Kiai sendiri.
Lalu, Kiai Ali bicara dengan hikmah yang dalam. "Ini luar biasanya guru-guru kita. Agar kita bisa mengejar ketertinggalan amal dan ibadah." Suaranya tegas namun penuh kasih. "Meski kita tak bisa seaalim guru-guru kita dulu, tapi jalan Thoriqoh ini jalan yang dipersiapkan generasi sebelum kita. Asalkan ada kesungguhan..." Ia menekankan kata kunci itu: kesungguhan. "Ini jalan kita tempuh untuk mencapai seperti guru-guru kita, paling tidak mendekati."
Dan harapannya mengalun tinggi, penuh keyakinan: "Dan yakinlah, kelak kita akan dikumpulkan dengan guru-guru kita yang shalih kelak."
***
Di serambi masjid itu, di antara keluguan seorang tukang las dan senyum damai seorang Kiai, terpapar sebuah mozaik indah tentang pencarian spiritual. Ini bukan kisah tentang kesalehan yang sempurna sejak awal, melainkan tentang kerinduan hati yang tulus, tentang keberanian mengakui ketidaktahuan, dan tentang ketertuntun langkah kaki yang gelisah menuju sumber kedamaian (ayem).
Kiai Ali, dengan sabar dan senyumnya yang menenteramkan, tak memberi beban kesempurnaan. Ia menawarkan jalan: thoriqoh, jalan yang telah dirintis para pendahulu. Jalan yang membutuhkan bukan kepandaian, tetapi kesungguhan. Jalan yang menjanjikan bukan hanya ketenangan duniawi (ayem), tetapi juga harapan pertemuan abadi dengan para pewaris cahaya Ilahi.
Dialog sederhana ini adalah cermin bagi banyak jiwa di zaman yang kerap gaduh ini. Mereka yang, seperti si tukang las, mungkin merasa "cuma salat salatan" – tersesat dalam rutinitas tanpa makna, merindukan bimbingan tetapi bingung "mulai saking pundi". Ia mengingatkan kita bahwa masjid, pengajian, dan guru yang arif, adalah pelabuhan bagi kerinduan itu. Dan bahwa pintu untuk "mengejar ketertinggalan" selalu terbuka, dengan syarat: niat tulus dan langkah yang konsisten.
Pada akhirnya, pertemuan di tempat pengurus masjid itu adalah sebuah testament. Bahwa kedamaian sejati (ayem) seringkali ditemukan bukan di puncak kesempurnaan, tetapi dalam ketulusan memulai, dalam keberanian mengakui kebingungan, dan dalam kehangatan senyum seorang guru yang menunjukkan jalan – jalan para pendahulu, jalan thoriqoh, jalan pulang menuju Ilahi dan berkumpul dengan yang shalih. Di situlah, bagi si tukang las dari Ngambakan dan mungkin bagi kita semua, "dalan kula" itu ditemukan.
Posting Komentar untuk "Ayem dalam Senyum Sang Kiai: Ketika Jalan Rindu Bertemu di Serambi Masjid Al-Misbah"