Gemuruh Dzikir di Tengah Dengung Jalan Nasional: Kisah Masjid Srawungan Ponorogo

Kyai Ali Barqul Abid, Masjid Srawungan Sejeruk Kauman
 
Setiap malam, Jalan Nasional penghubung Jawa Timur-Jawa Tengah di Ponorogo tidak pernah tidur. Tronton dengan knalpot bergemuruh, mobil penumpang melintas cepat, dan debu jalanan beterbangan. Di tengah orkestra kebisingan ini, sebuah masjid berdiri tegak: Masjid Darul Sholihin, lebih dikenal warga sebagai Masjid Srawungan. Namanya lahir dari bahasa Jawa srawung—berkawan, menjalin silaturahmi. Di sini, di pinggir jalan di mana kendaraan berlalu-lalang bak bandara, sebuah paradoks spiritual tercipta: keramaian lalu lintas bertemu kekhusyukan ritual tarekat, kegaduhan duniawi bersanding dengan keheningan dzikir .  

Asal usul nama "Srawungan" bukanlah pemberian resmi, melainkan ungkapan spontan dari jamaah yang merasakan hangatnya pelayanan masjid ini:  
  • Warung Kebaikan di Jalur Peradaban: Di serambi masjid, tersedia kopi, teh, dan air mineral gratis. Jamaah tinggal mengambilnya sendiri, atau membuat secangkir kopi hangat sembari beristirahat. Perlengkapan sholat—mulai dari sajadah hingga mukena—tersedia rapi untuk musafir yang lupa membawa .  
  • Sungai-sungai yang Mengaliri Makna: Di barat, selatan, dan timur masjid, aliran sungai dengan gerojokan (jeram kecil) menambah irama alam. Gemuruh airnya bukan gangguan, melainkan pengingat: di tengah derasnya kehidupan, ada ruang untuk bernapas.  
Fasilitas sederhana ini menjadi metafora hidup: masjid bukan sekadar tempat sholat, tapi ruang srawung—tempat manusia mengingat manusia lain.  

Setiap malam Rabu Pahing bakda Isya, masjid ini menjadi saksi ritual yang luar biasa. Puluhan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah An-Nadliyah duduk bersafet, mata terpejam, hati terkonsentrasi. Mereka melaksanakan baiat—ikrar kesetiaan pada jalan spiritual—dipimpin oleh Kyai Ali Barqul Abid, penerus estafet tarekat dari Kyai Amenan Zamzami, Kyai Imam Muhadi romonya 

Mengapa ritual ini istimewa? 
  • Kontemplasi di Tengah Kebisingan: Saat truk tronton melintas dengan getaran menggemuruh, jamaah tetap khusyuk dalam rabithah (penghubungan hati dengan guru spiritual). Suara mesin tak mengganggu lantunan dzikir sirr (dzikir dalam hati) yang mereka praktikkan .  
  • Ajaran Kyai Ali Barqul Abid: "Ramai di kesepian, sepi di keramaian adalah puncak kesadaran dzikir," ujarnya. Bagi tarekat ini, dzikir bukan ritual eksklusif di ruang sunyi, tapi praktik hidup di segala situasi—termasuk di pinggir jalan nasional yang riuh .  
Tarekat ini bukan hal baru di Ponorogo. Sejak era Kyai Imam Muhadi, ajaran gabungan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Bahauddin Naqshbandi ini telah membentuk lanskap spiritual Jawa Timur. Kini, di bawah Kyai Ali, tarekat tetap relevan bagi generasi muda yang mencari makna di tengah modernitas .  

Keunikan masjid ini adalah kemampuannya melampaui batas:  
Ditempat tenang beribadah khusyuk itu lumrah. Tapi di keramaian jalan nasional, tetap istikamah—itu luar biasa." 
— Kyai Ali Barqul Abid  
Di era media sosial yang justru kerap memisahkan manusia, Masjid Srawungan menawarkan model lain: silaturahmi fisik yang otentik. Di sini, sopir truk minum kopi berdampingan dengan jamaah tarekat, musafir dari Wonogiri sholat berjamaah dengan petani lokal, dan raungan knalpot bersatu dengan lirisan dzikir.  

Masjid ini mengajarkan:  
Spiritualitas bukanlah pelarian dari keramaian, tapi kemampuan menemukan keheningan di dalamnya."  
Seperti air sungai di sekitarnya yang terus mengalir meski dihantam batu, dzikir di hati jamaah tarekat tak padam oleh decibel jalan nasional. Inilah Ponorogo yang jarang ditampilkan: bukan sekadar kota Reyog, tapi ruang di mana srawung dan dzikir menjadi penanda ketahanan jiwa Jawa .  

---  Srawungan sejeruk Kauman.

Posting Komentar untuk "Gemuruh Dzikir di Tengah Dengung Jalan Nasional: Kisah Masjid Srawungan Ponorogo "