Di tengah deru kehidupan modern yang kerap memaksa kita lari ke segala arah, mencari pegangan menjadi kebutuhan mendasar. Seperti kompas di tengah samudra luas, nasihat bijak sering kali menjadi penunjuk arah yang menenangkan. Salah satunya datang dari Kiai Ali Barqul Abid, dengan lima wasiat penjagaan yang terdengar sederhana, namun menyimpan kedalaman makna untuk menyelami arus kehidupan.
Pertama: Menjaga Hati, Pusat Segala Rasa. Kiai Ali mengingatkan, “Jagalah hatimu karena dari sanalah segala rasa tumbuh, termasuk luka dan bahagia.” Hati bukan sekadar organ, ia adalah benteng perasaan, pusat intuisi, dan sumber energi hidup. Di zaman yang sarat stimulus dan tekanan, menjaga hati berarti melindunginya dari racun prasangka, iri dengki, dan keputusasaan. Ini adalah upaya aktif menyaring informasi, memilih pergaulan, dan merawat kejernihan batin. Hati yang terjaga akan menjadi sumber kehangatan, belas kasih, dan kebahagiaan sejati yang tak mudah terpengaruh gelombang luar.
Kedua: Menjaga Ucapan, Senjata Bermata Dua. “Jagalah ucapanmu sebab kata bisa jadi pelipur, tapi juga bisa jadi luka yang tak terlihat,” demikian tegas beliau. Kata-kata adalah kekuatan dahsyat. Seulas senyum bisa dibangun dengan kalimat yang menenangkan, namun sebuah hubungan pun bisa remuk oleh kata-kata pedas yang terlontar sembarangan. Di era media sosial di mana ucapan mudah menyebar dan sulit ditarik ulang, menjaga lidah (dan jari) menjadi lebih krusial dari sebelumnya. Setiap kata yang kita ucapkan atau tulis adalah cermin jiwa dan memiliki konsekuensi nyata. Menjaga ucapan adalah wujud kematangan dan penghormatan pada sesama.
Ketiga: Menjaga Waktu Bersama yang Tersayang, Kenangan yang Tak Terulang. Nasihat ketiga ini menyentuh sendi-sendi hubungan manusiawi: “Jagalah waktu dengan orang yang kau sayangi, karena suatu hari nanti kita hanya bisa mengenang bukan mengulang.” Kesibukan kerap menjadi alibi untuk menunda kebersamaan. Padahal, waktu bersama orang terkasih – keluarga, sahabat sejati – adalah investasi kebahagiaan yang tak tergantikan. Saat-saat bercanda, berbagi cerita, atau bahkan diam bersama, adalah mozaik yang kelak menjadi kenangan berharga. Kiai Ali mengingatkan, jangan sampai penyesalan datang saat hanya foto dan kenangan yang tersisa. Saat ini, detik ini, adalah kesempatan yang tak akan terulang persis sama.
Keempat: Menjaga Niat, Pelita dalam Kegelapan. “Jagalah niatmu tetap tulus, meski dunia kadang membalas dengan dingin. Karena ketulusan akan kembali dengan indah,” pesan beliau yang keempat. Niat adalah ruh dari setiap tindakan. Ketulusan niat adalah kompas internal yang menjaga kita tetap di jalur kebenaran, meski godaan dan ketidakadilan dunia mencoba membelokkan. Bekerja bukan sekadar untuk uang, tapi untuk berkarya dan memberi manfaat. Membantu bukan untuk dipuji, tapi karena rasa kemanusiaan. Menjaga niat tulus berarti melepaskan diri dari belenggu pamrih duniawi, percaya bahwa energi kebaikan yang murni pada akhirnya akan menemukan jalannya pulang, dalam bentuk yang sering kali tak terduga namun penuh keindahan.
Kelima: Menjaga Hubungan dengan Sang Maha, Tempat Kembali yang Pasti. Penutup yang menghujam: “Jagalah hubunganmu dengan Tuhan, karena ketika segalanya menjauh, Dia satu-satunya yang tetap dekat.” Dalam pusaran hidup, segala hal bisa berubah dan pergi: harta, jabatan, bahkan manusia terkasih. Hanya hubungan vertikal dengan Sang Pencipta yang konstan, sumber kekuatan dan kedamaian sejati. Menjaga hubungan ini melalui ibadah, dzikir, syukur, dan tawakal, bukan sekadar ritual, tapi merupakan pengakuan akan ketergantungan mutlak dan pencarian makna terdalam. Inilah pondasi yang membuat manusia tetap tegak, tenang, dan penuh harap, meski badai kehidupan menerpa.
Lima wasiat Kiai Ali Barqul Abid ini bagaikan lima titik kompas dalam perjalanan hidup. Bukan rumus instan kesuksesan duniawi, melainkan panduan menjaga kemanusiaan, keutuhan jiwa, dan ketenangan batin di tengah kompleksitas zaman. Menjaga hati, ucapan, waktu bersama, niat, dan hubungan dengan Ilahi. Lima penjagaan ini saling terkait, membentuk benteng kokoh yang melindungi esensi kemanusiaan kita. Dalam kesederhanaannya, mereka menawarkan kebijaksanaan abadi: bahwa hidup yang bermakna dimulai dan dirawat dari dalam, dari pengelolaan hati, kata, waktu, niat, dan hubungan dengan Sang Sumber Kehidupan. Mungkin, inilah kompas sejati yang kita butuhkan untuk tidak sekadar bertahan, tapi benar-benar hidup. Mari kita jaga, mulai dari sekarang, kata sang kiai.
Posting Komentar untuk "Lima Kompas di Tengah Pusaran Zaman: Renungan dari Nasihat Kiai Ali Barqul Abid"