Menggali Makna Spiritual Baiat Tarekat Qodriyah-Naqsyabandiyah di Banyuarum Kauman Ponorogo

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, Masjid Al Misbah di Banyuarum Kauman, Ponorogo, menjadi oase spiritual setiap Senin malam Selasa Kliwon. Di sana, jamaah berkumpul untuk mengikuti ritual Baiatan Torikhoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah—sebuah tradisi sufistik yang menggabungkan dua aliran tarekat besar: Qodriyah, yang bersambung ke Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Naqsyabandiyah dari Syekh Bahaudin Naqsyabandi. Acara ini bukan sekadar ritual, melainkan proses transformasi jiwa yang dijalani dengan disiplin, doa, dan refleksi mendalam.  

Ritual dimulai usai sholat Isya, dengan jamaah melaksanakan serangkaian sholat sunah: badiah Isya, taubat, sholat subudi iman, tasbih, dan hajat. Sholat-sholat ini menjadi pintu pembuka untuk membersihkan hati sebelum masuk ke inti acara: taujiah (nasihat spiritual) yang disampaikan oleh Kiai Ali Barqul Abid. Sang kiai menjelaskan bahwa tarekat ini bertujuan mencapai istikomah (konsistensi ibadah) dan mendekatkan diri kepada Allah dengan membersihkan hati dari sifat-sifat buruk yang “menghewanikan” manusia.  

“Sifat ujub (bangga diri), riya (pamer), dan hawa nafsu ibarat binatang buas. Jika tidak dikendalikan, ia akan menjadi liar,” ujar Kiai Ali dengan analogi khasnya. “Dzikir adalah senjata untuk melemahkan sifat-sifat itu. Ibarat harimau, setelah didzikir, ia jadi macan ompong,” candanya. Menurutnya, manusia yang terjebak nafsu duniawi bisa turun derajatnya, menyerupai binatang buas yang haus kekuasaan atau hewan ternak yang hanya mengejar syahwat.  

Proses pembersihan (tazkiyatun nafs) ini tidak berhenti pada penghancuran sifat buruk, tetapi dilanjutkan dengan “meriasi” hati dengan akhlak mulia. Misalnya, mengikis sifat bakhil (pelit) dan menggantinya dengan senang bersedekah. “Awalnya terasa berat, tapi jika dilatih terus, hati akan terasa ringan berbagi,” tutur Kiai Ali. Inilah esensi tarekat: perjalanan dari takhyali (angan-angan baik) menuju haqiqi (realitas spiritual).  

Puncak acara adalah baiat bagi jamaah baru. Mereka diikat secara spiritual melalui ijazah dzikir yang sanadnya bersambung dari Rasulullah, Sayidina Abu Bakar dan Ali, hingga Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Bahaudin Naqsyabandi, dan para mursyid di Indonesia, termasuk Kiai Imam Muhadi dan Kiai Ammenan Zamzami. “Sanad ini tidak boleh putus. Dzikir yang dibaiatkan akan lebih khusyuk karena ada bimbingan guru,” tegas Kiai Ali.  

Bagi jamaah, baiat bukan sekadar ikrar, melainkan komitmen untuk menjalani hidup dengan kesadaran ilahiah. Dzikir harian menjadi “nutrisi” untuk mengingat Allah dalam setiap tarikan napas, sekaligus tameng dari godaan duniawi.  

Di tengah masyarakat yang semakin individualistik, tradisi seperti Baiatan Qodriyah-Naqsyabandiyah menawarkan jawaban atas kegelisahan jiwa. Ritual ini mengajarkan bahwa teknologi dan kemajuan material tidak akan pernah cukup jika hati tidak dilatih untuk bersikap jujur, rendah hati, dan ikhlas. Seperti pesan Kiai Ali: “Manusia boleh menguasai dunia, tapi jangan sampai dunia menguasai hatinya.”  

Tarekat bukan pelarian, melainkan jalan untuk menemukan jati diri sejati: hamba Allah yang merdeka dari belenggu nafsu. Di Masjid Al Misbah, setiap Senin malam Selasa Kliwon, cahaya tasawuf terus menyala—mengingatkan kita bahwa di balik gemerlap dunia, ada ketenangan abadi dalam dzikir dan ketaatan.  

---  Banyuarum Kauman Ponorogo 

Posting Komentar untuk "Menggali Makna Spiritual Baiat Tarekat Qodriyah-Naqsyabandiyah di Banyuarum Kauman Ponorogo"