Pasca lebaran, puluhan santri di Ponorogo berkumpul di Masjid Semanding Jenangan untuk mengikuti bai’at Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah. Di tengah semangat menyambung ikrar spiritual, duka menyelimuti komunitas ini. Santri Naufal, yang meninggal saat perjalanan menuju Masjid Tegalsari, menjadi pengingat betapa hidup adalah perjalanan singkat yang akhirnya bermuara pada pertanyaan: Bagaimana kita mati?
Kiai Ali Barqul Abid, dalam ceramahnya, mengajak hadirin merenung: “ Pesannya tegas: kematian bukan akhir, melainkan pintu menuju kepastian. Yang masih hidup justru berada dalam “teka-teki” belum ada jaminan apakah akhir hayat kita akan baik atau buruk.
Kiai Ali mengisahkan dua tokoh yang gagal menjaga akhir hidupnya. Pertama, Musa Al Samiri, yang dikaruniai ilmu tinggi namun tergoda membuat patung sapi emas sebagai tuhan palsu. Kedua, Bal’am bin Baura, ulama Bani Israil yang doanya mustajab, tetapi dikhianati oleh nafsu akan harta dan kekuasaan. Keduanya mati dalam su’ul khatimah (akhir yang buruk), padahal awal perjalanan mereka dihiasi ketakwaan.
Kisah ini paralel dengan nasihat Kiai Imam Muhadi pada santrinya yang lupa diri: “Tujuan hidup bukan sekadar tirakat hingga lupa kesehatan, tapi bagaimana mati dalam keadaan rida kepada Allah.” Istikamah (konsistensi) dalam kebajikan, bukan durasi atau intensitas ritual, yang menjadi kunci.
Kiai Ali mengingatkan bahwa sifat iri, dengki, dan angkuh adalah “hewan buas” yang akan menghantui manusia hingga alam kubur. Sifat-sifat ini hanya bisa ditaklukkan dengan tajalli — penyinaran hati melalui dzikir dan pembiasaan karakter mulia: ikhlas, rendah hati, dan suka memaafkan. Di sinilah thoriqoh (jalan spiritual) menjadi relevan: ia bukan sekadar ritual, tetapi proses membersihkan hati dari kotoran nafsu.
Bai’at yang digelar adalah simbol komitmen untuk terus menempuh jalan ini secara kolektif. “Bukan lamanya hidup yang dinilai,” kata Kiai Ali, “melainkan seberapa besar kita bisa memberi manfaat dan istikamah.”
Pesan Kiai Ali mengajak kita berhenti sejenak. Husnul khatimah bukan soal mati di masjid atau saat beribadah, melainkan mati dalam keadaan “seneng-senengnya pada Gusti Allah” — pasrah, syukur, dan tanpa beban dosa yang membelenggu.
Santri Naufal, yang wafat dalam perjalanan ibadah, mungkin telah mengingatkan kita: kematian bisa datang kapan saja. Tapi yang lebih penting dari sekadar “kapan” adalah “bagaimana”. Di tengah hiruk-pikuk zaman, merawat hati agar tak terjangkit virus materialisme dan ego adalah jihad yang sesungguhnya.
Sebagai penutup, Kiai Ali berpesan: “Bagi ahli makrifat, mati yang bahagia adalah yang mempertemukan kita dengan cahaya Ilahi.” Mungkin inilah yang perlu kita kejar: bukan panjangnya usia, tetapi kedalaman makna yang kita tebarkan — hingga akhir hayat menjemput dengan senyum rida.
--- Semanding Jenangan Ponorogo)
Posting Komentar untuk "Gus Ali: Mencari Husnul Khatimah di Tengah Teka-Teki Kehidupan"