Di sebuah sudut Pondok Pesantren Manba'ul Adhim, Bagbogo, Nganjuk, waktu seolah melambat ketika saya melangkah memasuki kamar pribadi Kiai Imam Muhadi. Diiringi rasa takut, haru, dan syukur yang berbaur, pertemuan itu menjadi momen yang mengajarkan lebih dari sekadar adab menghadap seorang guru—tapi juga tentang makna kesederhanaan, kesabaran, dan kehadiran yang utuh.
Kiai Imam Muhadi pinarak lenggah di lantai yang beralaskan karpet, nampak beberapa bungkus rokok Bentoel Biru, korek dan asbak di atas karpet. Kiai Imam Muhadi duduk tenang, senyumnya menyejukkan seperti embun pagi. Saya menunduk, mencium tangan beliau—gestur penghormatan yang telah mengakar dalam tradisi pesantren. Mata ini tak berani menatap lama, meski sesekali lirikan kecil mengintip wajahnya yang teduh. “Monggo, niki ses-e,” ucapnya pelan, mengajak saya duduk.
Rokok menjadi “penghubung” yang tak terduga. Beliau menyulut sebatang, asap mengepul lembut, lalu menyodorkannya pada saya. Saya yang tak terbiasa merokok, bingung. Tiga kali tawaran itu diulang, dan akhirnya saya terima. Dengan gemetar, korek api berkali-kali gagal menyala. Kiai hanya tersenyum, tak menghakimi. Saat asap pertama masuk ke tenggorokan, batuk-batuk pun tak tertahan. Tapi di situ, di antara kepulan asap yang samar, saya belajar: Kiai tak sedang mengajari cara merokok, melainkan cara menghirup hidup.
Dari caranya menarik napas perlahan, saya paham: hidup tak perlu dikejar dengan terburu-buru. Batuk-batuk itu adalah metafora—kegagalan kita ketika memaksakan diri mengikuti ritme yang bukan milik kita. Kiai menghembuskan asap dengan tenang, dan perlahan saya meniru. Batuk mereda. Di sini, guru tak perlu ceramah panjang; diamnya adalah pelajaran, senyumnya adalah petuah.
Usai rokok, Kiai bertanya, “Saking ndalem jam pinten?” Pertanyaan sederhana, tapi sarat makna: Apakah kita sadar bahwa waktu yang diberikan-Nya adalah anugerah yang harus diisi dengan kehadiran penuh atau sudah dipakai untuk apa saja?
Saya menjawab dengan menghaturkan salam dari Ponorogo, mengalirkan tali silaturahmi yang tak terputus. Sebelum pamit, secangkir teh hangat dari Mbah Soleh menemani percakapan singkat yang merasuk ke relung hati.
Pertemuan itu mungkin hanya sebatang rokok dan segelas teh. Tapi di baliknya, Kiai Imam Muhadi mengajarkan bahwa hidup adalah seni mendengarkan dalam diam, meresapi dalam kesabaran, dan menemukan makna di balik hal-hal yang tampak sepele. Momen seperti ini mengingatkan kita: kadang, kebijaksanaan justru lahir dari ruang-ruang sunyi, di antara kepulan asap dan senyum seorang guru yang tak banyak bicara.
Sebagaimana rokok yang akhirnya menyisakan filter, mungkin hidup juga begitu: yang tersisa hanyalah esensi dari setiap tarikan napas yang kita jalani dengan sadar. Dan di Pesantren Manba'ul Adhim, esensi itu diajarkan dengan cara paling sederhana: melalui kehadiran yang tulus, tanpa kata.
--- Bagbogo Nganjuk)
Posting Komentar untuk "Belajar dari Sebatang Rokok: Pelajaran Hidup dan Kesederhanaan Kiai Imam Muhadi "