Banyak orang mencari ketenangan dengan menggantungkan harapan pada ritual-ritual keagamaan. Dzikir, sebagai praktik mengingat Allah, menjadi salah satu yang paling sering diulang. Namun, kerap kali kita bertanya: mengapa hati masih resah meski bibir tak henti berzikir? Pesan Kiai Ali Barqul Abid dari Dempelan Madiun, sebelum membaiat Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah, mengajak kita menyelami makna dzikir yang tak sekadar di lisan, melainkan harus meresap ke relung hati.
Kiai Ali mengingatkan: “Kalau kalimah dzikir telah menguasai lisan, akan mengalir ke hati. Dzikir tidak dipikir, telah terbiasa.” Ini adalah tahap ketika dzikir tak lagi menjadi beban, melainkan ritme alami jiwa. Dalam praktik tarekat yang dibaiatkannya, dzikir tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga melibatkan disiplin fisik dan konsentrasi energi spiritual. Misalnya, dalam baiat Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah, para murid diijazahkan untuk melafalkan kalimat “La Ilaha Illallah” sebanyak 165 kali setiap sehabis sholat wajib. Ritual ini dimulai dengan memusatkan niat, dimulai di pusar, lalu menarik energi dzikir ke arah kepala, mengalirkannya ke sisi kanan tubuh, dan “memukulkannya” ke Latifah Qolbi—titik spiritual yang berada di sisi kiri dekat detak jantung.
Proses ini bukan sekadar gerakan simbolis. Ia adalah upaya untuk menginternalisasi makna tauhid ke dalam setiap lapisan diri: dari jasmani hingga rohani. Setiap pukulan ke Latifah Qolbi dimaksudkan untuk menghancurkan ego dan membuka jalan bagi Nurullah menyinari hati. Kiai Ali menekankan bahwa dzikir harus menjadi tadzkirah (pengingat) yang aktif membersihkan “kotoran hati”, seperti iri, dengki, dan sombong, yang menghalangi cahaya Ilahi.
Lebih dari sekadar hitungan, dzikir dalam tarekat ini adalah seni menyelaraskan lisan, hati, dan tubuh. Selain La Ilaha Illallah, para pengamal juga diarahkan untuk melaksanakan dzikir sirri (dzikir dalam hati) dengan menyebut nama “Allah” sebanyak 1.000 kali setelah sholat fardhu setiap hari, dibagi ke tujuh Lathoif (titik-titik spiritual dalam tubuh):
1. Latifah Qolbi (jantung),
2. Latifah Ruuh (ruh),
3. Latifah Sirri (rahasia batin),
4. Latifah Khofi (ketersembunyian),
5. Latifah Ahfa (yang paling tersembunyi),
6. Latifah Nafsu (nafsu),
7. Latifah Kholaq (seluruh tubuh).
Setiap Latifah merepresentasikan lapisan kesadaran yang harus diterangi. Dzikir 1.000 kali ini dilakukan setelah sholat fardhu, diakhiri dengan doa: “Allahumma antamagsudi waridhoka mathlubi…” (Ya Allah, Engkaulah tujuanku, keridhaan-Mu yang kucari…). Doa ini menjadi pengikat antara disiplin dzikir dan kerinduan untuk menyatu dengan kehendak Ilahi.
Dalam tradisi sufi, Lathoif adalah “stasiun-stasiun” penyucian jiwa. Dengan membagi dzikir ke tujuh titik ini, seorang salik (penempuh jalan spiritual) diajak menyadari bahwa penyucian hati harus merata: dari nafsu yang liar hingga ke inti ruh yang paling dalam. Ini adalah tafsir praktis dari pesan Kiai Ali: dzikir tanpa pembersihan hati ibarat memoles cermin yang retak—cahaya tetap tak bisa memantul sempurna.
Pesan paling menggugat dari Kiai Ali adalah tentang konsep “mati idaman”: meninggal dalam keadaan “seneng semeng-nya pada Allah, sedang dalam puncak ibadah”. Visi ini hanya mungkin tercapai jika dzikir telah menjadi nafas kedua yang mengalir otomatis, bukan karena paksaan, tetapi karena kebiasaan yang telah menyatu dengan kesadaran.
Ritual dzikir dengan hitungan dan teknik spesifik mungkin dianggap kuno. Namun, justru di situlah kekuatannya. Ketika dunia menjajah kita dengan distraksi, dzikir terstruktur ala tarekat—seperti yang diajarkan Kiai Ali—menjadi benteng untuk memusatkan kembali hati dan pikiran. Gerakan menarik dzikir dari pusar ke kepala, misalnya, adalah metafora untuk mengangkat niat duniawi menuju spiritual. Sementara “pukulan” ke Latifah Qolbi mengingatkan bahwa transformasi spiritual seringkali memerlukan “kekerasan” terhadap ego.
Kematian yang dirindukan Kiai Ali bukanlah akhir, melainkan klimaks dari cinta. Untuk mencapainya, dzikir harus dijalani sebagai proses holistik: dihitung, dirasakan, dan dihayati hingga menembus setiap sel tubuh. Tujuh Lathoif yang dibersihkan dengan dzikir adalah persiapan agar saat ajal tiba, seluruh diri—dari nafsu hingga ruh—telah siap berpulang dalam keadaan “seneng semeng” pada Sang Kekasih.
Seperti kata Ibn Athaillah: “Dzikir itu mengundang Yang Maha Hadir. Jika Kau tak merasakan kehadiran-Nya, ketahuilah bahwa yang menghalangi adalah kotormu sendiri.” Pesan Kiai Ali mengajak kita membersihkan penghalang itu, satu dzikir, satu pukulan ke *Latifah*, dan satu doa setiap hari.
--- Dempelan Madiun
Posting Komentar untuk "Dzikir dan Seni Mati dalam Puncak Kecintaan pada Ilahi, Pesan Kiai Ali Barqul Abid dalam Baiatan TQN-A Dempelan Madiun "