Mencari Keseimbangan Spiritual di Tengah Pusaran Dunia: Pesan Kiai Hasan Ali di Dempelan Madiun

Ajaran tasawuf tetap menawarkan jalan tenang untuk meraih ketenangan batin. Salah satu tokoh yang mewariskan kearifan ini adalah Kiai Hasan Ali (78 tahun), santri Kiai Imam Muhadi jamaah Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah di Madiun. Dalam tauziah (nasihat spiritual) sebelum proses baiat, ia mengingatkan: “Apa yang diperintah Mursyid harus dijalani. Baiat itu janji, jangan ‘ndal’ (ingkar) dan ‘ndul’ (lalai). Jangan ‘legra-legre’ (terburu-buru).” 
Pesan ini bukan sekadar ritual, melainkan kompas bagi para pencari Tuhan di zaman yang mudah tergoda oleh kilau dunia.  

Kiai Hasan Ali kerap menggunakan metafora kapal untuk menjelaskan relasi syariat dan tarekat. “Syariat ibarat kapal. Jika tidak bocor, ia bisa berlayar ke samudera. Di tengah mengarungi samudera inilah kita perlu bimbingan guru mursyid, yang menuntun kita menghadap Sang Pencipta,” katanya. 
Syariat, dengan aturan dan ibadahnya, menjadi fondasi. Sementara tarekat adalah proses pelayaran spiritual yang membutuhkan kesabaran (“timik-timik perlahan dijalani”). Tanpa keduanya, manusia mudah terombang-ambing dalam lautan kehidupan.  

Nasehat Kiai Hasan Ali sebelum Baiatan, menekankan pentingnya bersikap proporsional terhadap dunia. “Orang tarekat harus berani meninggalkan dunia. Bukan berarti menghindari, tapi menempatkannya di ‘dinaruhkan’ (posisi tepat) saat beribadah,” ujarnya. 
Dalam syiir (puisi sufistik), ia mengingatkan: “Jangan terlalu gandrung pada duniawi, nanti mata dan hati menjadi buta. Dunia adalah pembujuk yang mengganggu ibadah. Tapi, jangan pula menunggu dunia hancur baru beribadah. Harta dunia adalah modal untuk taat.” 

Pesan ini relevan di era kapitalistik, di banyak orang terjebak antara memuja materi atau mengabaikannya secara ekstrem. Kiai Hasan Ali menawarkan jalan tengah: urusan dunia tidak boleh ditinggalkan, tetapi harus dikelola dengan kesadaran bahwa ia hanyalah sarana, bukan tujuan. “Jangan berdalih ‘repot’ untuk lalai beribadah. Jangan bilang repot , nanti bisa repot benar ketika repotmu diambil Allah. Kesibukan baru hilang ketika nisan telah terpasang,” tegasnya.  

Sebagai bagian dari Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah an-Nadliyah, Kiai Hasan diangkat Khalifah oleh Kiai Imam Muhadi  Bagbogo, Nganjuk di wilayah Madiun. 
Proses baiat (ikrar setia kepada mursyid) dilaksanakan setiap selapan (35 hari menurut kalender Jawa), setiap Ahad Kliwon di Madiun, dipimpin langsung oleh Mursyid Kiai Ali Barqul Abid. Ritual ini bukan formalitas, melainkan pengingat akan janji spiritual untuk konsisten menjalani suluk (perjalanan ruhani).  

Di balik seluruh ajaran ini, intinya adalah kalimat “Illahi anta mahsudi” (Ya Allah, Engkaulah tujuan akhir). Tarekat bukanlah ritual usang, melainkan upaya mengasah hati agar tak terjajah oleh nafsu dan kesibukan semu. Seperti kapal yang harus kokoh menghadapi ombak, manusia perlu membangun keteguhan iman sembari tetap mengarungi dinamika dunia.  

Dalam keheningan zikir dan disiplin baiat, Kiai Hasan Ali mengajak kita merenung: sejauh mana kita telah menempatkan dunia pada “dinaruhkannya”, dan seberapa sering kita lupa bahwa segala kesibukan hanyalah persinggahan sebelum pulang ke Sang Maha Kekal. Di sinilah relevansi tasawuf tetap bersinar: menjadi penyeimbang bagi jiwa-jiwa yang lelah di tengah pusaran zaman.  

----- Dempelan Madiun

Posting Komentar untuk "Mencari Keseimbangan Spiritual di Tengah Pusaran Dunia: Pesan Kiai Hasan Ali di Dempelan Madiun"