Gus Ali: Mengalah untuk Menang, Pelajaran Hidup di Jalan Curam Trenggalek

Suatu malam di jalur pegunungan Sooko-Trenggalek, di antara kelokan curam yang diselimuti rimbun hutan dan kegelapan, saya disuruh menepi dan menghentikan mobil di tepi kiri jalan. Sorot lampu dari jurang bawah hanya tampak seperti kunang-kunang yang hilang diterkam belantara. Di situ, Kiai Ali Barqul Abid mengajarkan pelajaran sederhana yang menyimpan filosofi hidup mendalam: mengalah bukanlah kekalahan, melainkan kemenangan atas ego.  

Di jalan sempit yang hanya muat untuk satu kendaraan, sopir harus pandai mencari celah untuk berpapasan. Tapi malam itu, Gus Ali tak sekadar memberi instruksi teknis. Beliau mengingatkan: “Yen simpangan kalih kendaraan lintu, ingkang saking nginggil kedah ngalah.” Artinya, kendaraan yang turun dari atas harus mengalah, memberi jalan pada yang menanjak dari bawah. Alasannya jelas: kendaraan yang sedang menanjak memikul beban lebih berat. Mesinnya “terengah-engah”, dan menghentikan laju di tanjakan curam berisiko tinggi.  

Pesan ini bukan hanya soal keselamatan lalu lintas. Di baliknya, tersirat prinsip hidup yang sering terlupa: empati harus lebih dahulu sampai sebelum ego. Mengalah bukan karena lemah, tetapi karena mampu melihat beban orang lain. Prinsip ini menjadi ijazah (warisan ilmu) yang Gus Ali tanamkan pada murid-muridnya, tak hanya di jalan pegunungan, tapi juga di jalan kehidupan.  

Dalam perjalanan itu, ada pesan lain yang tak kalah penting dari Pak Yadi: “Yen ngawal atau nderekne ojo melu-melu berlagak jadi yang diderekne.” Jangan sampai pengawal atau pendamping justru berlaku seolah-olah menjadi “sang yang dijaga”, ikut mengatur atau bergaya melebihi wewenangnya. Ini adalah cermin dari bahaya keakraban yang melenakan. Dekat dengan tokoh terpandang atau kekuasaan kerap membuat seseorang lupa diri, seolah cahaya sang guru atau pejabat menjadi hak miliknya.  Inilah pesan almarhum Pak Yadi saat nderek atau nderekne guru. Seringkali merasa deket dengan guru, menjadi wewenang wenang, kemleletan.

Gus Ali mengajarkan sebaliknya: ketulusan mengalah justru mengangkat martabat. Saat beliau memilih minggir, memberi jalan pada truk yang menanjak, sopir truk itu membalas dengan terima kasih tulus. Senyum kami di mobil bukanlah senyum kemenangan, melainkan kepuasan bahwa di tengah dunia yang saling serobot, masih ada ruang untuk ketulusan.  

Dalam budaya Jawa, mengalah sering diidentikkan dengan nrimo (pasrah). Tapi Gus Ali membingkainya sebagai aksi aktif: mengalah adalah keputusan bijak untuk memastikan kebaikan bersama. Di pondok pesantren, prinsip ini diwujudkan dalam sikap santri yang mendahulukan makan temannya yang lebih lapar, atau guru yang rela tak tidur demi menemani murid yang galau. Di luar pondok, ini bisa berarti pejabat yang memprioritaskan warga miskin dalam kebijakan, atau pengemudi yang tak memaksakan hak jalan saat melihat ambulans melintas.  

Malam di jalur Sooko-Trenggalek itu meninggalkan kesan tak biasa. Jalan berkelok yang menakutkan justru menjadi ruang kelas tentang kemanusiaan. Di setiap tanjakan, kita diingatkan: hidup bukanlah balapan. Yang dari atas harus mau turun, yang di bawah perlu didorong.  

Sebagai masyarakat yang kerap terpesona oleh simbol kekuatan dan kekuasaan, mungkin inilah saatnya kita belajar dari Gus Ali: mengalah bukan melemahkan, melainkan menguatkan tali persaudaraan. Seperti truk yang melintas malam itu, kadang memberi jalan justru membuat perjalanan kita lebih tenang. Karena di ujung kelokan, ada cahaya terima kasih yang menyinari gelapnya malam.  

Thin… thin…” bunyi klakson truk yang berlalu. Suara itu tak lagi terdengar mengganggu, melainkan seperti lonceng kecil yang mengingatkan: di jalan hidup yang curam, mengalah adalah cara terbaik untuk sampai.  
  

---  BendungiTreggalek)

Posting Komentar untuk "Gus Ali: Mengalah untuk Menang, Pelajaran Hidup di Jalan Curam Trenggalek"