Foto dan doa Kyai Ali Barqul Abid |
Di sebuah siang di Majasem Ngawi, Jawa Timur, sejumlah jamaah sepuh berusia 90-an berkumpul untuk berfoto. Salah seorang di antara mereka bertanya lugu, "Kok difoto arep diajak menyang endi?" Temannya menjawab dengan penuh keyakinan, "Diajak mlebu surga." Kyai Ali Barqul Abid tersenyum mendengarnya dan mengiyakan, "Inggih, sareng-sareng dateng surga."
Percakapan sederhana itu bukan sekadar canda, melainkan cermin dari sebuah keyakinan yang mengakar: bahwa mengikuti jalan guru mursyid, setia berdzikir, dan berpegang pada ajaran thariqah adalah janji keselamatan dunia-akhirat. Mereka ikut Torikhoh sejak jaman Kyai Imam Muhadi, dan sampai kini Kyai Ali Barqul Abid sebagai penerus estafet spiritual Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Kisah para sepuh di Ngawi itu mengingatkan kita pada hakikat hidup: manusia berjalan menuju satu titik akhir. Bagi mereka, thariqah bukan sekadar ritual, melainkan napas kehidupan yang mengalir dalam setiap detak jantung. Mereka telah melewati zaman Kyai Imam Muhadi, bertahan hingga era Kyai Ali Barqul Abid, dan tetap teguh meski zaman berubah. Keyakinan mereka sederhana: ikhlas mengikuti guru berarti ikhlas mengikuti jalan yang lurus, dan balasannya adalah surga—meski tujuan utama tetaplah Allah.
Namun, ujian iman tidak selalu berwujud usia lanjut. Naufal, seorang gitaris dari Ponorogo, justru menemui ajalnya dalam perjalanan menuju Masjid Tegalsari. Kecelakaan itu merenggut nyawanya, tetapi tidak merenggut keyakinannya. Foto terakhirnya bersama Gurunya dan jamaah thariqah menjadi saksi bisu bahwa ia mati dalam keadaan husnul khatimah—di jalan yang diyakininya benar. Kematian Noval mengajarkan satu hal: surga tidak hanya untuk mereka yang berusia lanjut, melainkan untuk siapa saja yang istiqamah dalam jalan kebenaran.
Dalam dunia yang semakin individualistik, hubungan antara murid dan guru mursyid dalam thariqah adalah fenomena langka. Ini bukan hubungan hierarkis, melainkan ikatan ruhani yang melampaui zaman. Seperti diungkapkan Kyai Ali, "Bisa nderek guru mursyid dan dipertemukan dengan guru mursyid adalah anugerah terindah."
Di tengah arus modernitas yang kerap meminggirkan nilai-nilai spiritual, thariqah justru menjadi ruang di mana manusia belajar merendahkan hati, mengingat kematian, dan memaknai hidup sebagai persiapan menuju akhirat. Jamaah sepuh di Ngawi dan Naufal dari Ponorogo adalah dua sisi mata uang yang sama: yang satu menunggu dengan sabar, yang lain dipanggil lebih cepat, tetapi keduanya sama-sama yakin bahwa jalan ini berujung pada pertemuan dengan Allah dan guru-guru mereka.
Foto-foto itu bukan sekadar kenangan. Ia adalah bukti bahwa di suatu masa, ada orang-orang yang memilih jalan ini dengan sepenuh hati. Kelak, ia mungkin akan menjadi pengingat bagi generasi berikutnya: bahwa thariqah bukan tentang usia, melainkan tentang keteguhan.
Naufal telah pergi, tetapi ia meninggalkan pesan: kematian bisa datang kapan saja, dan yang abadi hanyalah amal dan keyakinan. Seperti para sepuh di Ngawi yang tersenyum mendengar ajakan "mlebu surga," kita pun diajak untuk memaknai hidup dengan lebih dalam: bahwa surga tidak hanya ada di akhirat, tetapi juga dalam setiap langkah setia mengikuti jalan-Nya. Seminggu sebelumnya ia telah menitipkan amalan khususiyah yang sudah dilatinkan untuk disebarkan, karena banyak diantara teman temannya yang belum bisa baca huruf Arab.
Selamat jalan, Noval. Kini kau telah sampai lebih dulu—bersama guru-guru yang kau cintai.
-----Balong Ponorogo
Posting Komentar untuk "Menemukan Surga di Jalan Thariqah: Sebuah Renungan tentang Iman, Kematian, dan Persaudaraan"