Dalam budaya Jawa, ada ungkapan bijak yang kerap menjadi pegangan hidup: “Yen salah ndang seleh, yen bener ojo ngendelne benermu iso keblinger.” Artinya, jika salah segera merendah, jika benar jangan bersikukuh hingga keblinger. Kalimat ini bukan sekadar pepatah, melainkan filosofi hidup yang dalam. Kisah Pak Yadi, seorang pegawai yang menghadapi konflik di kantornya, menjadi cermin bagaimana kerendahan hati justru menjadi senjata ampuh untuk meredakan ego, melampaui kebenaran yang dipaksakan.
Suatu hari, Pak Yadi dihadapkan pada situasi pelik. Ia dipanggil menghadap kepala kantor bersama pihak yang bersebrangan. Lawannya datang lengkap dengan penasihat hukum, saksi, dan segudang bukti versi mereka. Sementara saya disuruh diam tidak ikut campur saat menemani Pak Yadi. Saat kepala kantor mulai mempertanyakan kasus tersebut, pihak lawan langsung menyerang dengan tuduhan, pasal-pasal hukum, dan narasi yang seolah tak terbantahkan. Bahkan sang atasan pun terbawa arus, ikut membenarkan klaim mereka.
Di tengah tekanan itu, semua orang mengira Pak Yadi akan membela diri, mengklarifikasi, atau melawan. Tapi ia justru memilih diam. Setelah lawan selesai berbicara, dengan tenang ia menatap kepala kantor dan berkata, “Iya, salah. Semua yang dikatakan dan dituduhkan benar adanya. Saya manut (menurut) pada keputusan Bapak.” Jawaban itu membuat ruangan senyap. Tak ada yang menyangka seorang tertuduh justru mengakui kesalahan tanpa perlawanan.
Dalam perjalanan pulang, Pak Yadi berpesan : “Yen salah ojo sibuk klarifikasi kanggo nutupi salahmu. Yen bener ojo sampek keblinger, merasa paling bener.” Pesannya sederhana: jika salah, jangan sibuk membela diri untuk menutupi kesalahan. Jika benar, jangan sampai terjebak dalam kesombongan.
---
Cerita Pak Yadi mengingatkan kita pada konsep “nrimo” dalam budaya Jawa, yang sering disalahartikan sebagai pasrah tanpa usaha. Padahal, nrimo adalah penerimaan atas konsekuensi dengan kesadaran penuh, disertai tekad untuk memperbaiki diri. Pengakuan Pak Yadi bukanlah bentuk kekalahan, melainkan langkah strategis untuk melunakkan konflik. Dengan mengakui kesalahan—meski belum tentu sepenuhnya benar— ia memutus siklus debat kusir yang hanya mengandalkan ego.
Dalam masyarakat modern, pengakuan seperti ini semakin langka. Di media sosial, misalnya, orang lebih memilih cancel culture ketimbang dialog. Di dunia kerja, budaya toxic positivity sering memaksa seseorang tampil sempurna, sehingga mengakui kesalahan dianggap aib. Padahal, seperti kata Pak Yadi, “Kabeh uwong nate ngalami salah.” Semua orang pernah salah, dan mengakuinya justru membuka jalan untuk perbaikan.
Filosofi “salah seleh” juga mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu perlu dipertahankan dengan keras kepala. Terlalu kukuh pada kebenaran diri bisa membuat kita keblinger—tersesat dalam ilusi superioritas. Di sisi lain, mengakui kesalahan bukan berarti lemah, melainkan bukti kedewasaan. Seperti air yang mengalir lunak namun mampu mengikis batu, kerendahan hati sering kali lebih efektif menyelesaikan masalah ketimbang konfrontasi.
---
Pelajaran dari Pak Yadi relevan dalam konteks apa pun: dari lingkup keluarga hingga kebijakan publik. Bayangkan jika politisi yang tersandung skandal berani mengakui kesalahan alih-alih menyewa tim pencitraan. Atau jika perusahaan yang melakukan pelanggaran segera meminta maaf dan memperbaiki diri, bukan menghapus jejak di media. Pengakuan tulus bisa memulihkan kepercayaan, sementara pembelaan berlebihan justru merusak integritas.
Namun, mengapa kita sulit mengaku salah? Karena ego manusiawi kita menganggap kesalahan sebagai cacat, bukan bagian dari proses belajar. Kita lupa bahwa pengakuan adalah langkah pertama untuk bertumbuh. Seperti pesan Pak Yadi, “Gek nyadari salahe lan ndandani.” Segera sadari kesalahan, lalu perbaiki.
Di akhir kisah, Pak Yadi pulang dengan tenang. Ia tidak merasa kalah, karena baginya, mengakhiri konflik dengan kerendahan hati adalah kemenangan sejati. Di dunia yang semakin gaduh dengan klaim kebenaran sepihak, mungkin kita perlu lebih sering mendengar bisik-bijak budaya leluhur: “Yen salah ndang seleh…”
Kisah Pak Yadi mengajarkan bahwa di balik kerendahan hati, ada kekuatan yang sering diabaikan: kekuatan untuk membebaskan diri dari belenggu ego. Dalam diam, dalam pengakuan, ada ruang untuk refleksi dan pertumbuhan. Seperti air yang mencari tempat rendah, manusia yang rendah hati justru akan menemukan kedamaian—dan mungkin, kebijaksanaan.
Posting Komentar untuk "Yen Salah ndang Seleh, Ojo Ngendelne Bener isa Keblinger "