Bergua Hiro’ di Puncak Kehidupan Materialistik: Refleksi Manaqib Kubro dan Wejangan Kyai Imam Muhadi di Era Konsumerisme


Suatu malam, kami diajak Pak Yadi menghadiri Manaqib Kubro Jatman di Kediri. Sebelum berangkat, kami menyempatkan sowan kepada Kyai Imam Muhadi di Pondok Pesantren Manba’ul Adhim, Bagbogo, Nganjuk. Dengan sikap rendah hati, Pak Yadi memohon izin, dan sang kyai hanya mengangguk sambil tersenyum—sebuah persetujuan tanpa kata yang sarat makna.  

Di Kediri, kerumunan manusia memadati lapangan tempat acara berlangsung. Kami memilih mengikuti pengajian dari warung kopi seberang, tetap khidmat meski dari kejauhan. Saat waktu sholat sunah tiba, kami bergabung dengan jamaah, lalu kembali mendengarkan wejangan para ulama sambil menyeruput kopi. Sebuah kontras yang menusuk: di tengah hingar-bingar dunia, ada ruang sunyi untuk merenung.  

Keesokan harinya, saya diutus Pak Yadi untuk sowan ke Mbah Toyib. Kami bercerita tentang perjalanan kami, dari sowan ke Kyai Imam Muhadi hingga menghadiri Manaqib Kubro. Tanpa diduga, Mbah Toyib tersenyum dan berkata dengan nada bercanda, "Sholat sunahnya tadi, rakaat pertama pakai At-Takatsur, rakaat kedua Al-‘Asr,  ya too?"

Saya tertegun. Bagaimana beliau tahu??
"Aku wis entuk bocoran ko Kyai," candanya.

Mbah Toyib kemudian menjelaskan bahwa para kyai telah sepakat: "ndonyo wis tuwo"—dunia sudah tua. Bacaan At-Takatsur (surat tentang manusia yang saling membanggakan harta) dan Al-‘Asr (surat tentang waktu dan kerugian) adalah simbol zaman ini. Manusia sibuk berlomba dalam kekayaan, kepintaran, dan kesuksesan duniawi. Mobil mahal, rumah megah, jabatan tinggi—semua diperebutkan dengan ego yang tak mau kalah. Namun, di ujung waktu, semuanya sia-sia.  "Dowo-dowonan, duwur-duwuran, banter-banteran, geden-gedenan, jor-joran." Tambah Mbah Toyib.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Kyai Imam Muhadi menyebut dunia sebagai bayangan yang tak boleh mengaburkan hakikat hidup. Kyai Imam Muhadi dan Mbah Toyib mengingatkan bahwa materialisme adalah ujian terberat di akhir zaman—ketika kemewahan justru menjadi penjara yang tak terlihat.  

At-Takatsur menggambarkan obsesi manusia menjadi paling: paling kaya, paling sukses, paling diakui. Sementara Al-‘Asr adalah tamparan: waktu akan menggerus semua pretensi itu, meninggalkan kita dengan pertanyaan, "Untuk apa semua ini?"

Di tengah arus globalisasi yang mendewakan materi, tradisi thoriqoh (tarekat) hadir sebagai penyeimbang. Seperti diungkapkan dan tertulis di tembok rumah Pak Yadi, "Bergua Hiro di Puncak Kehidupan Materialistik’"—metafora dari gua Hira tempat Nabi Muhammad bermeditasi sebelum menerima wahyu. 
Dalam konteks kekinian, thoriqoh berfungsi ganda:  
1. Rem : Mengendalikan hasrat konsumerisme yang tak terkendali.  
2. Kompas : Menuntun orientasi hidup dari kepemilikan menuju kebermaknaan.  

Kyai Imam Muhadi menekankan bahwa thoriqoh bukan sekadar ritual, melainkan disiplin spiritual untuk memaknai zuhud (tidak terikat dunia) tanpa menafikan tanggung jawab duniawi.  

Pesan dari Mbah Toyib meninggalkan kesan mendalam. Dunia mungkin sudah tua, tapi selama kita masih punya "rem" dan "kompas" spiritual, kita tidak akan tersesat. Seperti pesan terakhir beliau: "Urusan duniawi boleh banyak, tapi jangan sampai melalaikan yang satu—hubungan dengan Sang Pencipta."

Di puncak kehidupan materialistik, kita perlu membangun "gua Hira" sendiri—ruang untuk merenung, menemukan esensi, dan mengingat bahwa di balik gemerlap dunia, ada cahaya yang lebih abadi. Sebab, seperti bunyi Al-‘Asr, hanya dengan iman, amal shaleh, dan pesan kebenaran, manusia bisa selamat dari kerugian abadi.  

--- Pamenang Kediri)

Posting Komentar untuk "Bergua Hiro’ di Puncak Kehidupan Materialistik: Refleksi Manaqib Kubro dan Wejangan Kyai Imam Muhadi di Era Konsumerisme "