Pesantren Manba'ul Adhim Bagbogo: Pendidikan yang Menyatu dengan Denyut Kehidupan


Di tengah gemuruh modernisasi yang kerap memisahkan ruang belajar dari realitas sosial, Pondok Pesantren Manba’ul Adhim Bagbogo di Nganjuk justru menawarkan kisah berbeda. Sejak berdiri di era 1950-an hingga kini, pesantren ini tidak hanya menjadi tempat mengaji, tetapi juga ruang hidup yang menyatu dengan denyut ekonomi, budaya, dan kebutuhan masyarakat. Di sini, santri tidak hanya diajak memahami kitab kuning, tetapi juga belajar bahwa kerja keras, kolaborasi, dan kemandirian adalah bagian tak terpisahkan dari pengabdian.  

Memasuki era 80-90-an, pesantren ini menjadi saksi bagaimana puluhan sepeda tua milik pengrajin genteng dan mebel berjejal di dinding pondok. Sepeda-sepeda itu bukan sekadar alat transportasi, melainkan simbol simbiosis mutualisme antara pesantren dan masyarakat. Para pengrajin menyediakan fasilitas bagi santri untuk bekerja pagi hari, sementara sore hingga malamnya, santri mengkaji ilmu agama. Bahkan saat Ramadan, pengrajin mengirim rantangan buka puasa untuk santri yang menjadi tenaga kerja mereka.  

Kolaborasi ini tidak hanya membantu santri membiayai hidupnya, tetapi juga mengisi kebutuhan tenaga kerja di Nganjuk yang kala itu masih minim akses transportasi dan sumber daya. “Masyarakat terbantu, santri pun mandiri,” ujar Gus Din, salah satu pengasuh pondok, mengenang masa itu.  

Gus Din menceritakan, kisah unik terjadi ketika seorang alumni tanpa ijazah formal dicalonkan menjadi kepala desa di Sumatra. Meski kompeten dan didukung masyarakat, ia terhambat administrasi. Atas usaha pesantren, Depag Nganjuk akhirnya mengeluarkan surat keterangan yang membuka jalan baginya. Peristiwa ini menjadi titik balik. Gus Din dan pihak pondok pun mulai merintis sekolah formal di lingkungannya, menyadari bahwa gelar akademis tetap diperlukan sebagai “senjata” di dunia modern.  

Perlahan, wajah pesantren bergeser. Jika sebelumnya diisi santri berusia SMA atau lulusannya, sejak ada sekolah formal, anak-anak SD dan SMP mulai mondok. Kyai Ali Barqul Abid, pengasuh berikutnya, menekankan agar santri fokus belajar, bukan bekerja. Namun, jiwa kewirausahaan yang telah tertanam justru berkembang dalam bentuk lain: kedekatan dengan guru-guru yang ahli di bidang tertentu melahirkan santri-santri pengusaha mebel, ahli elektronik, petani sukses, hingga pengrajin bonsai.  

Karisma Kyai Imam Muhadi, pendiri pesantren, menjadi roh yang menggerakkan semangat kolaborasi ini. Suatu ketika, ia bertanya kepada santri: “Yen dikon milih mbesuk dadi wong sugih opo dadi wong alim?” Saat mereka menjawab “dadi wong alim” dengan malu-malu, sang Kyai justru tersenyum: “Miliho dadi wong sugih sing alim!”

Bagi Kyai Imam, kekayaan materi bukanlah musuh kesalehan. Justru, ia adalah alat untuk memperkuat dakwah. Santri diajari bahwa kerja adalah ibadah, dan kemandirian ekonomi adalah cara menjaga martabat serta memperluas dampak kebaikan. Pesan ini terlihat nyata dalam jejak alumni: ada yang membuka konveksi, membangun usaha sound system, atau mengelola lahan pertanian produktif. Tak hanya sukses secara finansial, mereka menjadi teladan di masyarakat.  

Model pendidikan di Manba’ul Adhim Bagbogo mengajarkan bahwa ilmu agama dan keterampilan hidup bukan dua kutub yang bertolak belakang. Di sini, kerja sama dengan pengrajin mebel bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan proses transfer nilai: kedisiplinan, kejujuran, dan tanggung jawab. Becak yang dulu menunggu tamu di gerbang pondok adalah metafora tentang bagaimana pesantren hadir sebagai penghubung antara tradisi dan modernitas, antara spiritualitas dan realitas.  

Di era di banyak pesantren terjebak dalam dikotomi “salaf versus modern”, kisah Pondok Manba’ul Adhim Bagbogo layak menjadi inspirasi. Ia membuktikan bahwa pendidikan yang membumi tidak perlu mengorbankan integritas keilmuan. Justru, dengan menyatu denyut nadi kehidupan, ia melahirkan santri-santri yang tak hanya paham faraidh, tetapi juga mampu membaca peluang zaman.  

Sebagaimana deretan sepeda tua di dinding pondok yang menjadi saksi bisu, pesantren ini mengajarkan: ilmu yang diamalkan adalah ilmu yang hidup, dan kerja yang tulus adalah doa yang paling nyaring.

*Bagbogo Nganjuk)

Posting Komentar untuk "Pesantren Manba'ul Adhim Bagbogo: Pendidikan yang Menyatu dengan Denyut Kehidupan"