Setelah shalat Isya, kami sowan Mbah Toyib untuk menjemputnya karena jadwalnya baiat di Masjid Al-Furqon Cekok. Mbah Toyib duduk menghadap secangkir kopi yang menguap hangat, mengenang Kyai Imam Muhadi—guru mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN-A), guru kami. Dalam kesunyian ruang tamu, Mbah Toyib tiba-tiba bercerita tentang prinsip yang menjadi pilar jalan ruhaninya: _yakin dan taat tanpa syarat pada guru mursyid_. "Tak boleh ada prasangka, apalagi curiga. Semua yang diperintahkan guru adalah kebenaran," ujarnya, sambil matanya menerawang ke masa lalu.
Lalu, ia menunjuk kursi rotan usang di hadapannya. "Di situ, Kyai duduk tiga hari tiga malam tanpa bergeser. Rokok di tangan tak pernah padam—habis sebatang, nyulut lagi. Sampai kursinya hangus terbakar api puntung." Mbah Toyib, yang kala itu hanya menjadi saksi bisu, saat adzan ia berdiri dan tak berani mengingatkan sang guru waktu nya sholat. "Aku takut jika Kyai bertanya, 'Sholatmu apa, Yib?' Aku lebih memilih diam," katanya,
Sholat Daim, ketika ibadah melampaui bentuk, kata Mbah Toyib. Ketaatannya bukanlah kepasifan, melainkan cermin kesadaran bahwa Kyai Imam Muhadi telah mencapai maqam sholat daim—sholat yang "berkekalan". Bukan sekadar gerakan lima waktu, melainkan keadaan ruhani yang terus menyambung dengan Ilahi. Dalam narasi Mbah Toyib, sholat daim adalah "dzikir tak terputus", di mana wudlu bukan lagi air di tubuh, melainkan kesucian hati. Kiblatnya pun bukan Ka’bah fisik, melainkan Baitul Mukmin—hati orang beriman yang menjadi rumah Tuhan.
Ini adalah spiritualitas yang melampaui formalisme. Kyai Imam Muhadi, dalam praktiknya, tak terikat waktu atau gerakan. Sholat daim mengalir dalam setiap tarikan napas, dalam duduk, berbaring, atau bahkan saat kursi di bawahnya terbakar. Ia adalah simbol penyatuan antara lahir dan batin, di mana ibadah tak lagi dibatasi ritual, tetapi menjadi napas kehidupan, jelas Mbah Toyib.
Kisah ini juga menyentuh relasi guru-murid dalam tradisi sufi Jawa. Ketaatan total kepada mursyid sering disalahpahami sebagai kepatuhan buta. Namun, bagi penempuh jalan tasawuf, sang guru adalah cermin yang memantulkan cahaya Ilahi. Setiap instruksinya—bahkan yang terlihat ganjil—adalah ujian untuk melampaui ego dan logika duniawi. Ketika Mbah Toyib tak berani menegur Kyai, itu bukan karena takut manusia, tetapi karena ia meyakini sang guru sedang dalam "dialog langit" yang tak boleh diinterupsi.
Praktik seperti duduk berhari-hari atau merokok tanpa henti mungkin kontroversial di mata awam. Namun, dalam tradisi sufi, simbol-simbol ini kerap menjadi medium tirakat (prihatin) untuk mencapai fana (lebur dalam Tuhan).
Di era yang gemar mempertanyakan segala hal, kisah Mbah Toyib dan Kyai Imam Muhadi mengajak kita merenungi makna tawakkal dan keikhlasan. Bukan untuk menolak sikap kritis, tetapi untuk mengingat bahwa ada dimensi spiritual yang hanya bisa diakses dengan ketundukan hati. Sholat daim mengajarkan bahwa ibadah tertinggi bukanlah yang tampak, tetapi yang meresap ke dalam setiap detik kehidupan.
Ini relevan dalam konteks masyarakat modern yang kerap abai pada keheningan batin. Sholat daim mengingatkan: Tuhan tak hanya di masjid, tetapi dalam setiap langkah, nafas, dan bahkan dalam diamnya seorang murid yang setia menghamba.
Kursi rotan hangus Kyai Imam Muhadi adalah monumen kesungguhan. Dari sana, kita belajar bahwa spiritualitas sejati kerap lahir dari pengorbanan dan keyakinan tanpa batas. Bagi Mbah Toyib, ketaatan adalah jalan untuk menyelami samudera makna di balik perintah guru. Dan bagi kita semua, kisah ini adalah undangan: untuk tak hanya sholat dengan tubuh, tetapi juga dengan ruh—menjadikan hidup itu sendiri sebagai sajadah yang tak berujung.
*Pilangsari)
Posting Komentar untuk "Ketaatan Tanpa Syarat: Sholat Daim dan Keteladanan Spiritual dalam Pelukan Guru Mursyid"