Reuni Alumni Pesantren: Merawat Jejaring, Melestarikan Ajaran, dan Memperkuat Ukhuwah

Kyai Ali Barqul Abid dan tamu jamaah
Di tengah gegap gempita Lebaran, Pondok Pesantren Manba’ul Adhim Bagbogo Nganjuk menyuguhkan pemandangan khas: ribuan alumni berbondong-bondang “sowan” ke ndalem Kyai Ali Barqul Abid. Tradisi ini tak sekadar silaturahmi, tetapi menjadi simbol kesetiaan terhadap akar spiritual mereka. Sejak hari pertama Syawal, gelombang tamu didominasi keluarga internal, lalu bergeser ke hari ketiga dengan kedatangan santri dan alumni dari berbagai penjuru—Nganjuk, luar provinsi, bahkan luar pulau. Ritme ini telah berlangsung sejak era almarhum Kyai Imam Muhadi, pendiri pesantren, dan terus hidup hingga kini. 

Di balik keramaian itu, terselip kisah lain yang tak kalah penting: inisiatif para alumni menggelar reuni regional di Nganjuk, Ponorogo, Pacitan, hingga Bojonegoro. Kyai Ali menyambut gembira, meski tak selalu bisa hadir atau menjanjikan kehadirannya. Waktu dan situasi pondok juga puncak-puncaknya pisowanan seperti tradisi sebelumnya. Kasihan santri jauh yang datang kalau tidak bertemu dengan Kyainya. Inilah potret dinamika alumni pesantren yang reuni bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya merawat warisan leluhur di tengah zaman yang berubah.

Reuni alumni pesantren berfungsi sebagai ruang penyambung tali yang kerap terputus oleh jarak dan waktu. Sebagaimana dicontohkan oleh Mas Thoiron (alumni asli Tepel) dan Mas Wiji (Ponorogo), pertemuan ini memungkinkan mereka saling berkabar, bertukar pengalaman hidup, hingga membuka peluang kolaborasi. Dalam konteks pesantren yang basis pendidikannya mengedepankan kebersamaan, reuni menjadi perluasan “keluarga” di dunia luar. Alumni yang bekerja sebagai guru di Ngawi, pengusaha di Bojonegoro, atau aktivis di Pacitan dapat saling mendukung, menciptakan jejaring yang memperkuat peran sosial mereka.

Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga pusat pembentukan karakter. Nilai-nilai yang ditanamkan Kyai Imam Muhadi—seperti kesederhanaan, ketekunan, dan keikhlasan—menjadi kompas hidup para alumni. Namun, di tengah arus globalisasi, nilai itu rentan tergerus. Reuni menjadi momentum untuk mengingatkan kembali pesan-pesan tersebut. Ketika Kyai Ali berpesan agar alumni “melestarikan dan meneruskan ajaran sang guru”, ia sedang menegaskan bahwa reuni harus bermakna regenerasi. Misalnya, alumni lintas generasi yang berkumpul di Sukorejo Ponorogo tidak hanya berbagi cerita masa lalu, tetapi juga merancang program pengajian rutin atau pelatihan kewirausahaan, sehingga ajaran pesantren tetap relevan.

Indonesia kerap diuji oleh friksi sosial berbasis identitas. Pesantren, sebagai miniatur masyarakat, mengajarkan ukhuwah (persaudaraan) yang inklusif. Reuni alumni lintas daerah memperlihatkan hal ini: mereka datang dari beragam profesi, latar belakang, bahkan aliran keagamaan, tetapi tetap bersatu dalam ikatan almamater. Acara reuni di Pacitan atau Bojonegoro, misalnya, bisa menjadi contoh konkret bagaimana perbedaan geografis dan kultural tidak menghalangi semangat kebersamaan. Ini sejalan dengan prinsip Islam yang menekankan persaudaraan universal.
 
Keterlibatan keluarga ndalem—seperti Gus Ahmad Syarofuddin yang mewakili Kyai Ali—dalam reuni menunjukkan bahwa pesantren tidak ingin terjebak dalam menara gading. Dengan turun langsung ke komunitas alumni, mereka mentransformasi nilai-nilai pesantren menjadi aksi nyata. Alumni yang berkumpul di Pacitan mungkin mendiskusikan program pemberdayaan ekonomi, sementara di Ponorogo mereka menggagas gerakan literasi. Dengan demikian, reuni tidak berakhir sebagai seremoni, tetapi menjadi titik awal gerakan sosial yang berdampak luas.

Tradisi reuni alumni Pondok Pesantren Manba’ul Adhim Bagbogo mengajarkan bahwa silaturahmi bukan ritual usang. Ia adalah napas panjang yang menghidupkan kembali semangat kolektif, mengubah memori menjadi aksi, dan mengikat masa lalu dengan masa depan. Di tangan para alumni, ajaran Kyai Imam Muhadi tidak akan mati: ia akan terus mengalir seperti air, menyuburkan setiap tanah yang disinggahi, dari Nganjuk hingga pelosok Nusantara. Inilah esensi reuni pesantren: merawat ingatan, merajut harapan.

Posting Komentar untuk "Reuni Alumni Pesantren: Merawat Jejaring, Melestarikan Ajaran, dan Memperkuat Ukhuwah"