Ibu Nyai Hj. Siti Masfufah |
Di tengah gemuruh perjuangan membangun peradaban Islam melalui pendidikan, nama Kyai Imam Muhadi sebagai pendiri Pondok Pesantren Manba'ul Adhim Bagbogo, Nganjuk, kerap disebut. Namun, di balik kesuksesan sang kyai, ada sosok istri yang menjadi sandaran hati, penggerak ekonomi, dan penjaga estafet keilmuan: Bu Nyai Siti Masfufah. Perempuan santri dari Pondok Krempyang ini bukan hanya pendamping setia, melainkan juga arsitek tak terlihat yang mengukir legasi pesantren hingga menjadi mercusuar pengetahuan dan akhlak.
Lahir dari keluarga dusun Krempyang, Siti Masfufah adalah putri Bapak Munandar dan Ibu Maryam. Sejak muda, kecerdasan dan ketekunannya dalam mengaji telah mencuri perhatian. Ia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Krempyang, almamater yang juga melahirkan calon suaminya, Kyai Imam Muhadi. Meski berbeda generasi, keduanya sama-sama menjadi murid Kyai Ghozali Manan, ulama kharismatik yang kelak menjadi penghubung kisah mereka.
Pernikahan mereka pada 1950 bukan sekadar ikatan dua insan, tetapi juga penguatan jejaring keilmuan antar pesantren. Kyai Imam Muhadi, yang saat itu mulai menapaki peran sebagai guru agama, memilih Siti Masfufah bukan hanya karena kecantikannya yang masyhur, melainkan juga kedalaman ilmunya. “Ibumu biyen, ayu-ayune wong Krempyang,” seloroh Kyai Ghozali Manan suatu hari pada Gus Ali muda, mengisyaratkan kesan mendalam terhadap sosok Bu Nyai.
Setelah menikah, Kyai Imam Muhadi memulai perjalanan dakwahnya di Bagbogo. Awalnya, ia pulang-pergi antara Krempyang dan Bagbogo. Namun, pada 1953, beliau memutuskan menetap untuk fokus membangun pesantren. Di sinilah peran Bu Nyai Siti Masfufah sebagai partner sejati teruji.
Saat sang suami kerap keluar kota untuk tugas dakwah—bahkan harus menginap di berbagai tempat—Bu Nyai lah yang memegang kendali. Ia tak hanya mengasuh putra-putri mereka, tetapi juga mengelola ekonomi keluarga dan pembangunan pesantren. Dengan kecerdasan dan keteguhannya, ia menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar, mengatur logistik santri, hingga memastikan pembangunan fisik pesantren tetap berjalan. “Beliau adalah simbol ketangguhan: dari dapur hingga musholla, semuanya ia sentuh dengan kelembutan dan ketelitian,” kenang Kang Wan, santri senior yang sewaktu mondok bertugas di dapur membantu masak Bu Nyai Masfufah.
Kisah Bu Nyai Siti Masfufah juga tak lepas dari jaringan keluarga yang rumit namun harmonis. Kakaknya, Nyai Mardiah, menikah dengan Kyai Sholeh—kakak kandung Nyai Khotijah (istri Kyai Ghozali Manan). Hubungan ini menjalin ikatan ganda antara Kyai Imam Muhadi dan Kyai Ghozali: selain sebagai guru-murid, mereka juga bersaudara melalui pernikahan. Bahkan, Haji Fattah (mertua Kyai Ghozali) turut berbaiat dalam Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah yang dipimpin Kyai Imam Muhadi, meneguhkan relasi spiritual antar keluarga.
Jaringan ini menjadi fondasi kokoh bagi Pesantren Manba'ul Adhim untuk tumbuh, didukung sinergi antara tradisi keilmuan, kekeluargaan, dan semangat berdakwah.
Pada suatu Syawal, tepatnya di hari ke-empat, Bu Nyai Siti Masfufah berpulang setelah menunaikan ibadah haji. Cerita kepergiannya mirip Kyai Imam Muhadi, yang juga wafat tak lama setelah kembali dari Tanah Suci. Keduanya dimakamkan bersebelahan di kompleks makam pesantren, simbol kebersamaan abadi mereka dalam mengabdi untuk ilmu dan masyarakat.
Hingga kini, setiap tanggal malam 4 Syawal, keluarga, santri mukim, dan masyarakat sekitar berkumpul secara sederhana untuk mengirim doa. Acara itu bukan sekadar ritual, tetapi pengingat akan teladan Bu Nyai: ketulusan dalam melayani, keuletan dalam bekerja, dan kesetiaan pada cita-cita pendidikan.
Bu Nyai Siti Masfufah meninggalkan warisan yang jauh melampaui zamannya. Ia membuktikan bahwa peran perempuan pesantren tidak terbatas pada dapur dan keluarga, tetapi juga sebagai pengelola institusi, penjaga tradisi, dan agen perubahan. Di tengah arus modernisasi, kisahnya mengajarkan bahwa kealiman, ketangguhan, dan keindahan akhlak bisa menyatu dalam diri seorang nyai, menjadi inspirasi bagi santri wanita dan masyarakat Nganjuk hingga hari ini.
“Dari Bagbogo, ia mengajarkan: di balik setiap pesantren besar, ada perempuan kuat yang menopangnya dengan hati dan ilmu.”
Posting Komentar untuk "Bu Nyai Siti Masfufah, Sang Pilar di Balik Berdirinya Pesantren Manba'ul Adhim"