Malam itu, 29 Ramadan, langit gelap pekat menggantung di atas Sewulan. Saya dan almarhum Pak Senen baru saja selesai berkeliling mengumpulkan zakat dan menuju Masjid Basyariyah untuk shalat Tarawih. Meskipun udara lembap mengisyaratkan hujan, kami tidak menyangka badai hujan angin akan sebegitu keras. Saat kami melintasi depan Puskesmas Pagotan, hujan tiba-tiba mengguyur deras, memaksa kami berteduh di emperan toko yang sepi. Motor kami terpaksa terparkir menepi, sementara deru air memecah kesunyian malam.
Tiba-tiba, dari arah selatan, sebuah motor Shogun melaju kencang. Penumpang belakangnya—seorang ibu yang menggendong balita—terlihat memakai mantel panjang. Sebelum sempat berpikir, mantel itu tersangkut rantai motor. Suara gesekan kasar, lalu brak!! Motor terjungkal di aspal basah. Ibu itu terlempar ke tengah jalan, balitanya menjerit, sementara suaminya—sang pengendara—terpelanting ke pinggir. Padahal, di tengah hujan lebat itu, arus mudik masih ramai. Bus-bus besar melintas dengan kecepatan tinggi, klakson meraung-raung.
Refleks, saya berlari ke tengah jalan. Hujan membasahi setiap jengkal tubuh, tapi rasa panik itu lebih kuat. Saya memapah sang ibu yang limbung, sementara Pak Senen—yang matanya rabun—dengan hati-hati menuntun balita yang menangis ke tepi. Suaminya sibuk mengumpulkan barang-barang yang berserakan, wajahnya pucat. "Cepetan! Bus itu mau lewat lagi!" teriak seseorang dari tepi jalan. Saya membantu menyeret motor yang rusak, sementara klakson kendaraan besar terus membahana, seakan mengusir kami dari maut.
Ketika semua sudah aman di emperan toko, suasana justru makin runyam. Suami si ibu tiba-tiba meledak: "Urusan keluarga saya, ngapain ikut campur?!" suaranya kasar, mata menyala. Sang istri hanya mengangguk ke arah kami—mungkin terima kasih, mungkin permintaan maaf. Hujan belum reda, tapi mereka nekat melanjutkan perjalanan. Si ibu menoleh sekali lagi, anggukan kedua kali. Sebuah isyarat bisu yang menggantung.
Kami pulang ke Ponorogo dengan baju basah kuyup. Tarawih di Masjid Basyariyah batal. Esoknya, cerita ini kami sampaikan pada Pak Yadi, wakil guru saya yang bijak. Beliau cuma tertawa: "Kewajibanmu hanya menolong. Urusan diterima atau tidak, itu hak Gusti Allah. Jangan pernah berharap ucapan terima kasih, apalagi imbalan."
Lalu, dengan nada khasnya, ia menambahkan: "Allah tak mau berhutang budi pada orang sepertimu. Nanti anak-istrimu, keluargamu, orang orang yang kamu sayangi yang akan merasakan berkahnya." Tawanya menggelegar, tapi kalimat itu meresap dalam. "Meskipun kamu tidak mau dikasih imbalan, Allah tak mau berhutang budi pada kalian." Imbuh almarhum Pak Yadi dalam tawa
***
Malam itu mengajarkan satu hal: memberi tak selalu berbalas senyum. Kadang, yang kita terima justru kemarahan atau kecurigaan. Tapi, seperti kata Pak Yadi, niat baik tak pernah sia-sia. Ia akan mengalir seperti hujan yang diam-diam menyuburkan tanah, meski akar tak pernah meminta. Di bulan Ramadan ini, mungkin itu yang dimaksud ikhlas: berbuat baik, lalu melepaskan segala tuntutan. Sebab, yang abadi bukanlah terima kasih manusia, tapi catatan-Nya yang tak pernah salah mencatat tetesan keringat, detak jantung yang bergegas menolong, dan niat yang tak ternoda.
Kisah ini mungkin hanya tentang hujan dan kecelakaan biasa. Tapi di dalamnya, ada pelajaran tentang makna memberi yang sejati: tanpa topeng pamrih, tanpa tirai pencitraan. Seperti langit yang menurunkan hujan: ia tak peduli apakah bumi membalas dengan bunga atau duri.
-------malem songollikuran)
Posting Komentar untuk "Hujan, Kecelakaan, dan Pelajaran tentang Memberi yang Tak Mengharap"