Menjadi Manusia yang Disembunyikan, Dicintai Langit

Kyai Ali Barqul Abid, Telomoyo

Di lereng pegunungan Telomoyo, Magelang, dua orang santri menangis haru ketika Kyai Ali Barqul Abid tiba-tiba mengunjunginya tanpa pemberitahuan. Di tanah yang diapit gunung-gunung—Telomoyo, Andong, Merbabu, Sumbing—Kyai Ali mengingatkan satu hal: perjalanan dari Telomoyo ke Pondok Bagbgogo mungkin mustahil bagi pikiran manusia, tetapi tidak bagi Allah. Di tangan-Nya, yang tak terpikirkan menjadi nyata.  

Pesan Kyai Ali sederhana namun menusuk: "Istikamah terberat adalah menjaga hati untuk tidak merasa lebih baik dari orang lain." Kalimat ini bukan sekadar nasihat, melainkan tamparan halus bagi zaman di mana kesalehan sering dipertontonkan, diukur lewat like dan komentar. Kyai Ali lalu bercerita tentang Uwais al-Qarni, manusia yang disembunyikan Allah: dunia tak mengenalnya, tapi surga merindukannya.  

Kesalehan yang Tak Butuh Panggung; Dalam budaya yang memuja eksposur, kisah Uwais al-Qarni adalah antitesis. Ia tak punya akun media sosial untuk pamer sedekah, tak mencari gelar "ustadz viral", tapi amalnya sampai ke langit. Kyai Ali "cemburu" pada orang seperti ini—manusia yang mampu menyembunyikan kebaikan sebaik ia menyembunyikan aib orang lain.  

Inilah ujian istikamah sejati: tetap berbuat baik ketika tak ada yang memuji, tetap rendah hati ketika dielu-elukan. Di era performatif, kesalehan sering dikorbankan demi validasi. Padahal, Rasulullah SAW mengingatkan: *"Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu (istikamah) meskipun sedikit."* (HR. Bukhari).  


Telomoyo dan Pelajaran tentang Kerendahan Hati; Pegunungan Telomoyo, Merbabu, Andong dan Sumbing yang mengapit lokasi pertemuan Kyai Ali dan santrinya adalah metafora sempurna. Gunung-gunung itu diam, tak perlu membesar-besarkan ketinggiannya, tapi keberadaannya memberi kehidupan bagi sekitarnya. Seperti itulah manusia ideal: tak perlu mengklaim diri suci, tapi kehadirannya meneduhkan.  

Pesan Kyai Ali mengingatkan kita pada falsafah Jawa "nrimo ing pandum"—menerima dengan ikhlas tanpa membandingkan. Bila hati bersih dari merasa "lebih", kita akan melihat kebaikan orang lain sebagai anugerah, bukan ancaman.  

Di tengah gemerlap dunia yang mendorong kita untuk terus terlihat, Kyai Ali dan Uwais al-Qarni mengajak kita menjadi "manusia yang disembunyikan Allah". Bukan untuk lari dari tanggung jawab, melainkan agar amal kita murni untuk-Nya. Seperti gunung-gunung di Magelang, biarlah ketinggian jiwa kita hanya diketahui oleh langit.  

"Dunia mungkin tak melihatmu, tapi surga sudah menyiapkan tempat."

-----Telomoyo)

Posting Komentar untuk "Menjadi Manusia yang Disembunyikan, Dicintai Langit"