Kyai Ali Barqul Abid |
Di tengah dinamika masyarakat yang semakin kompleks, muncul fenomena sosial-keagamaan yang kerap memicu polemik. Belakangan, sorotan tertuju pada sejumlah habib keturunan Nabi Muhammad SAW yang menampilkan perilaku atau kegiatan dianggap tidak lazim oleh publik. Mulai dari gaya hidup kontroversial, klaim spiritual, hingga aktivitas yang dianggap "ngawur", fenomena ini mengundang pertanyaan: bagaimana seharusnya masyarakat menyikapinya?
Dalam sebuah dialog usai baiatan Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah, Kyai Ali Barqul Abid, memberikan respons bernuansa bijak. Saat ditanya jamaah tentang maraknya habib dengan "kegiatan aneh-aneh", Kyai Ali menekankan prinsip "gak usah melu-melu" (tidak perlu ikut campur) dan "ndak usah ikut-ikutan" (jangan ikut-ikutan). Pesannya sederhana: jangan terburu-buru menghakimi, baik memuji maupun mencela. Sebab, kebenaran atau kesalahan suatu tindakan bisa saja terungkap seiring waktu.
Kyai Ali lantas mengisahkan pengalamannya bergaul dengan banyak habib, termasuk yang dekat dengannya. Namun, ia juga mengingatkan pesan sang ayah, Abah Kyai Imam Muhadi: "Bila ada orang yang menyanjung-nyanjung, memuji-muji, lihat saja dan tunggu—dia lagi ada maunya." Pesan ini bukanlah sikap sinis, melainkan kewaspadaan terhadap motif terselubung yang mungkin menyertai pujian berlebihan. Pengalaman Kyai Ali membuktikan hal itu: tak jarang ia kedatangan tamu yang awalnya memuji, namun kemudian menunjukkan kepentingan tertentu.
Dari sini, Kyai Ali mengajarkan dua hal. Pertama, bersikap baik secara sewajarnya. Menghormati setiap orang adalah prinsip dasar, tanpa harus larut dalam kultus individu atau fanatisme buta. Kedua, menghindari reaksi berlebihan. Di era media sosial, mudah sekali masyarakat terjebak dalam budaya "geruduk" (menggiring opini) atau menghujat. Padahal, menurut Kyai Ali, "Bukan waktunya lagi berbuat demikian."
Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejak era Abah Kyai Imam Muhadi, pola serupa telah terjadi. Yang berubah hanyalah medium dan intensitasnya. Di masa lalu, figur-figur kontroversial mungkin hanya dikenal di lingkup lokal. Kini, di tengah gempuran informasi digital, setiap tindakan bisa viral dalam sekejap, memicu respons massal yang kerap emosional.
Lantas, apa yang bisa dipetik dari nasihat Kyai Ali?
Pertama, kritis tanpa menghakimi Masyarakat perlu membedakan antara kritik konstruktif dan penghakiman publik.
Kedua, menjaga keseimbangan antara hormat dan kewaspadaan. Menghormati habib sebagai keturunan Nabi tidak berarti menutup mata terhadap potensi penyimpangan.
Ketiga, fokus pada penguatan diri. Alih-alih sibuk mengomentari orang lain, Kyai Ali mengajak kita merawat tradisi keilmuan dan spiritualitas yang sudah diwariskan para pendahulu.
Pelajaran ini relevan tidak hanya dalam konteks habib, tetapi juga menyikapi berbagai fenomena sosial lainnya. Di Indonesia yang majemuk, budaya "gak usah melu-melu" justru bisa menjadi tameng dari polarisasi. Ia mengingatkan kita untuk tidak mudah terprovokasi, tetapi tetap berpijak pada prinsip: bersikap santun, berpikir jernih, dan bertindak proporsional.
Di akhir dialog, Kyai Ali tersenyum. Senyum itu mungkin simbol ketenangan batin: bahwa di tengah riuh rendah dunia, yang kita butuhkan bukanlah reaksi instan, tetapi kedalaman menyikapi hidup. Sebuah pesan timeless di zaman yang serba tergesa.
--- Srawungan Kauman Ponorogo )
Posting Komentar untuk "Menjaga Sikap Bijak di Tengah Fenomena Sosial: Pelajaran dari Kyai Ali Barqul Abid"