Gus Mad: Cahaya yang Tak Pernah Salah Alamat

Gus Mad
Suatu senja di perjalanan Ponorogo-Nganjuk, langit memerah mengiringi perjalanan pulang. Di dekat Jembatan Tempuran yang berbatasan kuburan teringat almarhum Gus Mad yang tadinya diam tiba-tiba berbisik, "Orang yang sudah mati hanya butuh kiriman doa, meski sekadar Al-Fatihah. Ucapkan salam, yakinlah salammu sampai, dan Fatihahmu yang ditunggu."

Kalimat itu mengalir seperti air di tengah dahaga, mengingatkan bahwa kematian bukan akhir dari ikatan manusia. Gus Mad menggambarkan kiriman doa sebagai secercah cahaya yang dipantulkan cermin. "Ibarat menyorotkan lampu ke cermin, cahaya itu pasti kembali ke sumbernya, meski kita tak mengharap balasan."

Metafora ini mengajak kita merenung: kebaikan yang tulus, sekecil apa pun, adalah energi yang tak pernah hilang. Memberi air pada yang kehausan atau rantang pada yang kelaparan bukan sekadar transaksi sosial, melainkan spiritual reciprocity sebuah hukum alam semesta yang bekerja dalam sunyi.

Gus Mad juga pernah bercanda tentang "ancaman bulian" dari orang alam kubur jika kita lalai mengirim doa. "Ini orang warga baru yang dulu sering kasih kiriman, dan ini orang yang semasa hidupnya pelit pada orang kubur," katanya dengan nada yang mengundang senyum. "Ojo pelit-pelit." Kata Gus Mad lirih

Pesan Gus Mad juga menepis kekhawatiran akan "pembagian" pahala yang sempit. 
"Satu Fatihah untuk semua, bukan dibagi-bagi secuwil-cuwil. Allah Maha Pemurah,  ndak itungan seperti manusia." Di sini, ia mengajarkan bahwa kalkulasi duniawi tak berlaku dalam spiritualitas. Setiap kebaikan meski terasa kecil, di mata Sang Pencipta adalah anugerah yang utuh dan berlipat.

Kiriman doa adalah bentuk sedekah ruhani yang abadi. "Dalam hati saja biar Allah dan orang kubur saja yang dengar." pesan Gus Mad. Di tengah individualisme modern, tradisi mengirim doa untuk yang telah tiada adalah cara merajut kembali ikatan transenden. Ia bukan sekadar ritual, melainkan pengakuan bahwa hidup dan mati adalah bagian dari siklus yang saling memengaruhi.

Setiap Al-Fatihah yang kita bacakan adalah pengingat: suatu hari, kita pun akan menunggu kiriman cahaya dari yang masih hidup. Sebab, seperti cahaya yang tak pernah salah alamat, kebaikan sekecil apa pun meski hanya sebuah salam atau seuntai Fatihah akan selalu menemukan jalannya pulang.

Al-Fatihah untuk Gus Mad dan Pak Senen. Semoga cahaya mereka terus menyala dalam ingatan dan doa.

-----Kali Tempuran 

Posting Komentar untuk "Gus Mad: Cahaya yang Tak Pernah Salah Alamat"