![]() |
Makam Mbah Ahmad Toha, di makam hari |
Setiap pagi, sesosok lelaki tua duduk di teras rumah berlantai tanah. Sarung lusuh, kopiah compang, rambut beruban sebahu. Asap rokoknya menari pelan, matanya menatap tajam, seolah menyimpan seribu bahasa yang tak terucap. Dialah Mbah Ahmad Toha, lelaki yang dijuluki “gila” oleh warga Durisawoo, Ponorogo, namun dianggap sebagai wasilah (perantara) spiritual oleh segelintir orang yang memahami rahasia hidupnya.
Selama puluhan tahun, masyarakat menjauh. Mereka khawatir “kegilaan”-nya menular. Anak-anak dilarang mengikuti ngaji torikhoh (kajian tasawuf) yang ia ikuti. Hanya sang kakak yang setia mengurusnya: mengeluarkannya ke teras saat fajar, membawanya kembali saat senja. Tapi di balik sepi itu, Mbah Ahmad menyimpan kisah yang jauh lebih dalam dari sekadar cap “gila”.
Bagi Pak Yadi, tetangga yang rumahnya hanya 200 meter dari rumah Mbah Ahmad, sosok itu adalah pembuka jalan. “Beliaulah yang mengantarkan saya dan tiga sahabat ke Kyai Imam Muhadi Bagbogo, Mursyid Torikhoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah dari Nganjuk,” kenangnya. Sebelum berguru pada sang kyai Imam Muhadi, Mbah Ahmad-lah yang melatih mereka menghafal Al-Quran dan hadis.
“Kami sering berlomba. Meski dianggap aneh, ia dekat dengan anak-anak,” ujar Pak Gunawan, salah satu muridnya. Mbah Ahmad sering memanjat pohon mangga tetangga untuk mengambil buah bagi anak-anak. Tapi tak sebutir pun ia makan. “Dia hanya tersenyum, ‘Ini bukan untukku’,” tutur Gunawan.
Kyai Imam Muhadi sendiri, setiap berkunjung ke Durisawoo, selalu menyempatkan diri duduk bersamanya. “Mereka merokok dalam hening. Tak banyak bicara, tapi saling memahami,” imbuh Pak Yadi.
Suatu malam setelah Isya, Pak Yadi tiba-tiba membatalkan niat ziarah, meski telah membeli kembang. Esok subuhnya, Pak Yadi memberi kabar Mbah Ahmad wafat, menugaskan saya untuk membantu memandikan jenazah bersama kakanya Mbah Ahmad Toha. Saat dimandikan, senyumnya cerah dan telunjuk kanannya menunjuk ke jantung—gestur yang oleh Pak Yadi ditafsirkan sebagai latifah qalbiyah, titik spiritual dalam tasawuf yang berkaitan dengan penyucian hati.
“Biarkan orang menganggapnya gila, tapi Kyai Imam Muhadi tak pernah meragukan kesungguhannya,” ujar Pak Yadi, mengutip pesan gurunya. Kembang yang tak jadi dipakai ziarah menjadi satu-satunya hiasan di pemakamannya.
Kini, rumah Mbah Ahmad telah terjual. Hanya dedaunan mangga berserakan di teras yang dulu menjadi saksi bisu kegiatannya. Tapi kisahnya tetap hidup: tentang lelaki yang mengajar tanpa kata, membuktikan bahwa kebijaksanaan kerap bersembunyi di balik prasangka.
Bagi Durisawoo, ia mungkin tetap “si gila”. Tapi bagi yang merenung, telunjuknya yang menunjuk jantung adalah pengingat abadi: kebenaran tak perlu diumbar. Ia bisa hidup dalam hening, diam-diam menyentuh hati. Ratusan murid Kyai Imam Muhadi yang tersambung melalui Mbah Ahmad adalah bukti kadang, cahaya justru bersinar paling terang dari tempat yang dianggap gelap.
Di nisannya yang sederhana, sepi dari puja-puji, pertanyaannya menggema: Sudahkah kita belajar mendengar makna di balik diam?
---
Torikhoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah: Tarekat Sufi yang mengkombinasikan ajaran dua mazhab besar, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, dengan penekanan pada disiplin spiritual dan pengabdian sosial.
Latifah qalbiyah: Konsep dalam tasawuf tentang "titik halus" di dekat jantung, diyakini sebagai pusat kesadaran spiritual yang terkait dengan hati nurani.
Posting Komentar untuk "Mbah Ahmad Toha: Guru Diam di Balik "Kegilaan" yang Menyala"