Di tengah senja yang menguning, suara azan magrib menggema di Pondok Pesantren Manba’ul Adhim Bagbogo, Tanjunganom, Nganjuk. Puluhan santri duduk melingkar di halaman masjid pondok yang digelar karpet, menatap hidangan sederhana di hadapan mereka: yang disediakan Ibu Pondok.
Buka puasa bersama keluarga besar pesantren ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ruang di mana kerinduan akan rumah bertaut dengan makna kebersamaan yang diajarkan Nabi.
Kyai Ali Barqul Abid, pimpinan pesantren, mengutip hadis riwayat Abu Dawud: “Makanlah bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah akan memberkahi kalian.” Pesan Nabi ini menjadi fondasi. Dahulu, para sahabat bertanya mengapa makan tak mengenyangkan. Jawabannya ternyata sederhana: kebersamaan. Di pesantren salafiyah yang jauh dari gemerlap kota, kebersamaan itu bukan sekadar duduk berdampingan, tapi merajut hati yang rindu. Banyak santri di sini berasal dari luar propinsi dan luar Jawa—Sumatra, dengan tekad “bilat kenekatan” (nekat yang dipikirkan) untuk mondok. Ada yang tak pulang tiga tahun, mengorbankan pertemuan dengan keluarga demi mengejar ilmu. Saat buka bersama, mereka menemukan pengganti sementara dari hangatnya rumah: teman yang menjadi saudara, kyai yang mengayomi seperti orang tua.
“Ini obat rindu,” ujar seorang santri asal Sumatra. Di pesantren salafiyah, hidup memang tak mudah. Mereka bangun pukul tiga dini hari untuk menyiapkan sahur, lalu setelah Asar, bergotong-royong memasak buka puasa dengan kayu bakar. Tak ada katering mewah atau menu instan. Tapi justru di sini, kata Kyai Ali, “puasa adalah puasa yang sebenarnya”: melatih kesabaran, merasakan lapar yang sama, dan belajar mensyukuri sesuap nasi. Kemewahan yang hilang digantikan oleh kebersamaan yang menguatkan.
Yang menarik, Kyai Ali tak hanya mengajarkan teori. Ia mempraktikkan kesetaraan. Saat buka bersama, menu yang disantun kyai sama persis dengan santri: tempe bacem, sayur lodeh, dan sambal terasi. “Kyai selalu punya cara menyayangi santri,” tutur santri Sumatra itu. Di balik sikapnya yang tegas, ada perhatian yang dalam: ia kerap memastikan santri yang sakit mendapat perhatian ekstra, atau mengizinkan mereka menelepon keluarga saat rindu tak tertahankan.
Pesantren salafiyah seperti Manba’ul Adhim kerap dipandang sebagai “dunia yang terasing”: tanpa AC, wifi, atau fasilitas modern. Tapi justru di ruang sempit inilah karakter ditempa. Bangun tengah malam mengajarkan disiplin, masak bersama melatih kemandirian, dan buka puasa serentak mengingatkan bahwa kebahagiaan tak selalu tentang kelimpahan. Seperti kata Kyai Ali, “Berkah itu bukan soal banyaknya makanan, tapi bagaimana hati bisa terkumpul.”
Di era di hidup individualistik menggerus ikatan sosial, tradisi buka bersama di pesantren menjadi cermin: kebersamaan adalah kekuatan. Bagi santri yang merantau jauh, pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu, tapi rumah kedua yang mengajari arti bertahan hidup dengan sederhana, namun penuh makna. Seusai buka puasa, mereka akan kembali ke kamar, menyalakan lampu temaram untuk mengaji. Di luar, langit Nganjuk gelap, tapi di dalam hati para santri, ada cahaya yang tak pernah padam: cahaya kebersamaan yang kelak akan mereka bawa pulang, sebagai bekal untuk masyarakat.
Cerita ini bukan hanya kisah tentang Ramadan di pesantren. Ini tentang bagaimana diam-diam, dari balik dinding sederhana Pondok Bagbogo, lahir generasi yang paham: hidup yang bermakna tak butuh kemewahan, cukup dengan duduk bersama, mengucap basmalah, dan merasakan bahwa setiap suap nasi adalah doa yang terangkai dalam kebersamaan.
Posting Komentar untuk "Buka Bersama di Pesantren: Menganyam Kebersamaan dalam Diamnya Rindu"