PARIT TENGAH, JAMBI (15/3/2025) — Suara lantunan shalawat mengalun lembut dari Pondok Pesantren Manba’ul Hikmah, Jambi, pada Sabtu Legi kenarin. Puluhan santri duduk melingkar di serambi masjid pondok, mata tertutup, tangan menengadah. Di tengah mereka, Kyai Agus Salim memimpin Khususiyah yang diyakini menyambungkan ruhani jamaah dengan sang guru mursyid, Kyai Imam Muhadi, yang telah wafat. Di sela hening itu, seorang santri berbisik: “Guru tak pernah pergi. Dia hanya berpindah alam.”
Di era digital yang memuja kedekatan fisik—zoom meeting, chat instan, atau story media sosial—komunitas Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah justru mengajarkan paradigma lain: kedekatan sejati tak diukur oleh jarak, bahkan tak terputus oleh maut. Ajaran ini diwariskan Kyai Imam Muhadi, mursyid Thoriqoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah yang wafat pada 2002, namun masih “hidup” dalam praktik spiritual santri-santrinya.
Mursyid: Matahari yang Tak Pernah Tenggelam
Dalam pengajiannya, Kyai Agus Salim menggambarkan guru mursyid laksana matahari. “Meski tak terlihat di malam hari, sinarnya tetap ada. Begitu pula guru: meski jasadnya tiada, barakahnya tetap mengalir selama murid setia pada jalannya,” ujarnya. Metafora ini merangkum inti ajaran thoriqoh: ikatan guru-murid adalah pertemuan dua jiwa, bukan dua tubuh.
Kyai Imam Muhadi mewariskan lima pilar penghubung: baiatan, khususiyah, manaqiban, istighosah, dan sholat sholat sunnah. Bagi komunitas ini, ritual-ritual itu bukan sekadar tradisi, melainkan bahasa cinta yang menjaga kesinambungan dialog ruhani. Hal inilah yang dijadikan kegiatan rutin oleh jama'ah Torikhoh Qodriyah wa Naqsyabandiyah an Nadliyah di Jambi setiap hari Sabtu Legi. Kemarin bertepatan puasa Ramadan, dilanjutkan buka puasa bersama.
Salah satu praktik unik lain di pesantren ini adalah ziarah kubur yang dilakukan bukan sebagai ritual duka, tapi sebagai “kunjungan ke rumah kedua sang guru.”
“Saat berziarah, kami yakin Kyai Imam mendengar salam kami. Ini seperti mengirim SMS ke alam barzakh,” tutur salah satu santri asal Jambi.
Sholat sholat sunah dan istighosah juga dipahami sebagai “frekuensi” yang menyelaraskan hati murid dengan gurunya. “Jika murid bersungguh-sungguh mendekat lewat amalan, guru akan datang dalam mimpi atau memberi ilham,” jelas Kyai Agus. Di sini, mimpi bukan sekadar bunga tidur, melainkan ruang kelas tanpa dinding tempat sang mursyid tetap mengajar.
Pertanyaan kritis sering muncul: bagaimana mungkin guru yang telah wafat masih bertanggung jawab atas muridnya? Dalam keyakinan thoriqoh, kematian hanyalah perubahan status: dari guru fisik menjadi guru ruhani. Kyai Ali Barqul Abid, penerus Kyai Imam Muhadi, menjelaskan: “Seperti khatib Jumat yang suaranya sampai ke belakang meski tak menengok, guru di alam barzakh tetap bisa memberi syafaat lewat doa dan barakah amalannya.”
Konsep ini berakar pada ayat “Jangan kira orang yang mati di jalan Allah itu benar-benar mati. Mereka hidup di sisi Tuhan-Nya dengan rezeki yang diberikan” (QS. Ali Imran: 169). Bagi santri Manba’ul Hikmah, kematian guru justru ujian kesetiaan: mampukah murid tetap istiqamah ketika sang pemandu tak lagi terlihat?
Dalam dunia yang semakin individualistik, ajaran thoriqoh ini menawarkan solusi paradoksal: untuk merasa dekat, seseorang tak perlu selalu hadir secara fisik. Yang diperlukan adalah komitmen pada nilai-nilai bersama, konsistensi ritual, dan keyakinan bahwa ikatan sejati bersifat transenden.
Bagi para santri yang merantau ke luar negeri, amalan khususiyah menjadi “VPN spiritual” yang menjaga akses mereka ke sang guru. Seperti kata Gesang dan Bayu, santri santri yang bekerja di Luar Negeri: “Setiap baca wirid pemberian Kyai Ali, saya yakin beliau sedang mendampingi. Ini lebih kuat daripada video call.”
Di tepian Sungai Batanghari, Pondok Manba’ul Hikmah mengajarkan bahwa teknologi terhebat bukanlah satelit atau internet, melainkan hati yang tulus menyambung. Di sini, kematian bukan akhir hubungan, melainkan awal dari pertemuan yang lebih hakiki.
Sebagaimana pesan Pak Yadi: “Jika engkau rindu gurumu. Hidupkanlah amalannya. Di situlah ia akan selalu ada.”
Di tengah gempuran zaman yang mengukur kedekatan dengan likes dan views, mungkin kita perlu belajar dari sabda bijak ini: jarak terdekat bukan yang diukur oleh Google Maps, tapi oleh ketulusan dua hati yang menyebut nama Tuhan yang sama.
---Pondok Pesantren Manba’ul Hikmah, Jambi)
Posting Komentar untuk "Guru di Ufuk Langit: Ikatan Ruhani yang Menembus Batas Ruang dan Waktu"