Di Balik Wajah yang Tak Pernah Dikenal: Kisah Murid-Murid yang Berpegang pada Keyakinan


Di sebuah ruang pengajian yang sunyi, puluhan pasang mata menatap layar ponsel. Air mata mengalir pelan saat foto hitam-putih seorang lelaki tua dengan sorot mata teduh muncul. Dialah Al-Mursyid Kyai Imam Muhadi, guru spiritual yang selama ini hanya mereka kenal melalui cerita, ajaran, dan keyakinan. Kini, untuk pertama kalinya, wajah sang guru terpampang jelas. "Inilah Abah Sepuh," bisik salah seorang murid, suaranya bergetar. "Selama ini, kami hanya membayangkannya."  

Dalam tradisi tarekat tertentu, hubungan antara murid dan mursyid (guru spiritual) bukan sekadar ikatan duniawi. Ia adalah jembatan ruhani yang menghubungkan hati murid dengan Sang Ilahi. Namun, bagaimana jika murid-murid itu tak pernah sekalipun melihat wajah gurunya? Inilah yang dialami oleh jamaah pengikut Al-Mursyid Kyai Imam Muhadi, seorang guru sufi yang wafat sebelum sempat bertatap muka langsung dengan banyak pengikutnya.  

Sepeninggal Kyai Imam Muhadi, estafet kepemimpinan spiritual diteruskan oleh kalifah. Kyai toyib, kemudian Pak Yadi dan Pak Yadi, menjadi perantara yang menjaga ajaran sang guru tetap hidup. 
"Guru kita, Al-Mursyid Kyai Imam Muhadi, kelak yang akan membawa kita pulang ke Illahi Robbi," begitu Pak Yadi kerap menegaskan dalam setiap pengajian. 
Keyakinan itu dirawat lewat kisah-kisah keteladanan, wejangan, dan canda ruhani. 
Saat ada yang bertanya, "Kalau kangen pada guru, bagaimana?" Jawabannya selalu sama: "Robbitoh nek guru, dan yakinlah gurumu menyertaimu."

Kyai Kamdi, dengan gaya khasnya, bahkan pernah berujar di tengah pengajian: "Mbah Yai Imam Muhadi rawuh di pengajian ini, sampean kudu yakin!"
Kalimat itu bukan sekadar pengingat, melainkan seruan untuk meleburkan keraguan. Sebab, dalam jalan tasawuf, keyakinan (yaqin) adalah mata uang tertinggi. "Keyakinan itu mahal harganya. Ia yang menjadi ikatan sampeyan dengan Abah Kyai dan guru-guru di atasnya," pesan Kyai Ali Barqul Abid, mursyid penerus yang kini memimpin jamaah.  

Selama bertahun-tahun, wajah Kyai Imam Muhadi menjadi misteri bagi yang belum Bernah bertemu. Di era media sosial, di mana gambar mudah tersebar, tidak ada satu pun murid yang berani mempertanyakan ketiadaan visual itu. "Kami hanya mengenal beliau lewat suara Pak Yadi, cerita Mbah Toyib, dan rasa yang mengalir dalam dzikir," kata Imam, salah seorang murid. Hingga suatu hari.saat Kyai Ali Barqul Abid resmi diangkat sebagai mursyid, foto-foto Kyai Imam Muhadi mulai beredar.  

Reaksi pun meledak. Banyak yang menangis haru, ada yang terduduk memandangi foto itu berjam-jam, seolah ingin mengejar semua waktu yang "hilang". "Ternyata, bayangan saya selama ini mirip dengan wajah aslinya," ujar Ukin seotang pemuda yang sudah 10 tahun mengikuti ajaran tarekat ini. Bagi mereka, foto itu bukan sekadar gambar, melainkan penguat keyakinan bahwa guru mereka pernah benar-benar "ada", menyertai dari balik hijab ketidaktahuan.  

Kyai Ali Barqul Abid memahami betul gejolak ini. Dalam sebuah khutbah, ia berpesan: "Guru itu hidup atau wafat, sama saja. Yang memisahkan hanya hijab tipis dunia. Tugas kita adalah menjaga ikatan hati (rabithah) dan mewarisi kemurnian ajarannya."

Bagi jamaah, perjalanan ini bukan tanpa tantangan. Ada yang mengaku sempat "bingung" karena tak bisa membayangkan wajah guru, ada yang bingung saat harus meminta restu secara batin. Tapi, seperti kata Mbah Toyib, "Kalau pamit, ya hadirkan beliau dalam hati. Guru sejati tak pernah meninggalkan muridnya."

Kisah jamaah Kyai Imam Muhadi mengajarkan bahwa spiritualitas tak selalu butuh bukti visual. Keyakinan, meski dibangun dari cerita dan ajaran yang dititipkan turun-temurun, bisa menjadi jangkar kokoh di tengah gelombang keraguan. Ketika foto sang guru akhirnya tersibak, air mata yang mengalir bukanlah tanda penyesalan, melainkan pengakuan bahwa keyakinan mereka selama ini tidaklah sia-sia. Sebab, seperti guratan kaligrafi di dinding pesantren Kyai Ali Barqul Abid: "Guru adalah cermin yang memantulkan cahaya langit. Meski cermin itu pecah, cahayanya tetap abadi di hati yang yakin."

--- Ponorogo)

Posting Komentar untuk "Di Balik Wajah yang Tak Pernah Dikenal: Kisah Murid-Murid yang Berpegang pada Keyakinan"