“Gumanthile Nggur neng Ngimpi…”
Begitu canda Gus Ali Barqul Abid saat saya ngobrol santai dengan Gus Kur.
Ucapan ringan itu membuat saya tiba-tiba teringat almarhum Pak Yadi.
Dulu, setiap kali saya menceritakan mimpi kepadanya, beliau selalu menjawab dengan tawa:
“Tukang tidur… bersandar di tembok saja bisa tidur.”
Jawabannya selalu sama, bahkan sampai tiga kali. Sementara kalau teman lain bercerita tentang mimpi, Pak Yadi menanggapi serius—kadang memberi petunjuk, kadang menasihati panjang lebar.
Pernah, saya merasa iri. Mengapa mimpi saya tidak dianggap penting? Mengapa beliau selalu menanggapinya dengan guyon?
Baru bertahun-tahun kemudian saya mulai mengerti.
Pak Yadi pernah berujar lirih, “Takone wae salah, opo maneh jawabane…”
Artinya, kalau cara bertanya saja sudah keliru—karena niatnya tidak jernih, disertai rasa ingin pamer, atau sudah menaksir jawabannya sendiri—bagaimana mungkin bisa mendapat jawaban yang benar?
Ternyata bukan mimpinya yang salah, tapi niat dan adab bertanya yang perlu dibenahi.
Hal itu pula yang saya bicarakan dengan Gus Kur.
Ia pernah menceritakan kisah serupa: ada seorang murid yang bermimpi bertemu almarhum Mbah Yai Imam Muhadi. Tapi cara ia bercerita dan bertanya sudah salah arah—penuh tafsir pribadi, bahkan cenderung ujub, merasa istimewa.
Saat ditanya, sang guru hanya menjawab tenang:
“Saya saja tidak pernah mimpi ketemu Mbah Yai.”
Namun si murid malah menimpali, “Lho, gak pernah mimpi, apa gak nyambung dengan Mbah Yai?”
“Dalam sekali duduk, sudah salah dua kali,” kata Gus Kur sambil tersenyum.
Sebab yang penting bukanlah mimpi bertemu guru, melainkan bagaimana menjalankan pesan dan amanah guru dalam keseharian.
Menurut Gus Kur, lebih baik tidak pernah bermimpi, daripada salah menafsirkan mimpi hingga menumbuhkan rasa sombong.
Bila benar-benar ingin nyambung dengan guru, maka ukurannya bukan mimpi, melainkan amal dan kesetiaan menjalankan ajaran beliau.
Menjaga nama baik guru, melanjutkan amanah, dan berbuat sebaik-baiknya di dunia—itulah tanda hubungan yang sesungguhnya.
Lalu Gus Kur menambahkan,
“Mimpi itu bahan introspeksi, bukan panggung tafsir. Ia menunjuk ke dalam, bukan ke luar. Bukan untuk menilai orang lain, tapi menilai diri sendiri—apa yang salah, apa yang kurang, apa yang belum pas.”
Mimpi, katanya, bisa menjadi cermin lembut dari Tuhan agar kita memperbaiki diri.
Bukan untuk berbangga, tapi untuk tawadhu. Bukan untuk merasa istimewa, tapi untuk kembali menjadi murid yang pas, sebagaimana seharusnya seorang murid.
Gus Ali yang sejak tadi mendengarkan, tersenyum. Lalu melontarkan candaan yang sekaligus mengandung makna dalam:
“Gumanthile Nggur neng Ngimpi…”Terhubungnya hanya di dalam mimpi.
Padahal, kata beliau, yang benar adalah “gandeng dunia akhirat”—terhubung bukan karena mimpi, tetapi karena melaksanakan ajaran, pesan, dan petuah guru dengan sepenuh hati.
Dalam hidup, banyak hal yang kita anggap isyarat padahal sekadar gema dari pikiran sendiri.
Kita mudah menafsir, cepat menyimpulkan, bahkan sering mengira sudah paham kehendak Guru, Tuhan, atau takdir. Padahal, yang paling sederhana justru paling dalam: melaksanakan yang sudah jelas di depan mata, dengan sebaik-baiknya.
Mimpi bisa menghibur, tapi amal yang tuluslah yang menyambungkan.
Karena hubungan sejati—antara murid dan guru, manusia dan Tuhannya—tidak terjadi dalam tidur, melainkan dalam kesadaran yang penuh bakti.
--- Gadel Sidorejo
Posting Komentar untuk "Gumanthile Nggur Neng Ngimpi"